Mohon tunggu...
Muwadhoful Akmal
Muwadhoful Akmal Mohon Tunggu... Freelancer - PENGEMBARA

MANUSIA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Ritual Topo Bisu Mubeng Beteng di Kraton Yogyakarta

15 Januari 2021   21:27 Diperbarui: 15 Januari 2021   21:36 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika tahun baru jawa 1' suru atau dalam islam di sebut tahun baru Hijriyah kraton Yogyakarta selalu mengadakan penggelaran acara ritual topo bisu, dua kata tersebut di ambil dari bahasa jawa yang memiliki arti "berjalan tanpa bicara" sehingga seseoarng melakukan ritual tersebut hanyalah dzikir guna mengingat kepada sang kholik yang diiringi dengan pengitropeksian diiri atas kesalahan kesalahan yang pernah di lakukannya dulu.

Sedangkan kata selanjutnya mubeng beteng yang berasal dari bahasa jawa yaitu muser atau munjer (memusat) menglilingi pusat. Topo bisu mubeng beteng ini juga menjadi salah satu wisata religi sehinggga meninumbulkan daya tarik tersendiri bagi daerah di sekitarnya, seperti magelang, temanggug, kulonprugo, purwerejo.

Pada jam 08:00 WIB orang orang yang akan mengukuti ritual ini sudah mempersiapkan diri berkumpul di beteng kraton untuk melakukan tahlil, pembagian makanan, tembang macopat jawa sebagai rangkaian awal kegiatan. Hingga pada jam 00:00 WIB lonceng di bunyikan sebagai simbol bahwa prosesi ritual akan siap dimulai.

 Adapun rute yang di tempuh oleh para pesarta ritual topo bisu yaitu di mulai dari mengelilingi beteng dengan berjalan dari alun alun utama menuju jalan kauman, jalan wahid hasyim, pojok beteng kulon, gading, pojok beteng wetan melalui jalan brigdjen katamso meyusuri jalan ibu ruswo, jalan pakapalan dan berakhir I keben.

Tradisi ritual topo bisu mubeng beteng merupakan wadah dari suatu ungkapan rasa prihatin yang esensinya tergantung dengan kepercayaan yang di lakukan oleh masing masing orang yang mengikutinya.

Masyarakat dan para abdi ndalem memiliki cara tersendiri dalam melakukan ritual topo bisu yaitu dengan cara membisu yang memiliki makna simbolis bahwa pada tahun hijriyah ini orang agar lebih berprihatin dalam berprilaku antaralain mengurangi berbicara, dalam masyarakat jawa hal ini di anggap menjadi sesuatu yang penting karna dengan tutur katalah manusia bisa lebih muliah di sisi sang khaliq

Pada tahun 1919 adalah tahun dimana awal sejarah ritual topo bisu ini di mulai. Kala itu ada Sebuah permintaan dari salah satu rakyat Yogyakarta yaitu kanjeng kia tunggal wulung, ia meminta agar melakukan upacara ritual pengibaran bendera pusaka dengan cara berjalan kaki sambil mengelilingi beteng keratin hal itu bertujuan guna mencegah dan mengehentikan dari paparan wabah penyakit yang pada saat itu mewabah secara luas melanda masyarakat Yogyakarta.

Dengan ritual peribadatan tersebut masyarakat meyakini dan beranggapan bahwa wabah peyakit itu akan sirna. Karna pengaruh suggesti dan keyakinannya penyakit wabah tersebut dapat di hilangkan. Kanjeng kia tunggal wulung sendiri konon dulu adalah kerabat bawaan oleh imam syafi'I utusan sultan humenkubuwono 1 pad tahun 1784 masehi.

Selain itu mubeng beteng juga merupakan hasil dari tradisi jawa islam, di mulai pada kerajaan mataram (katogede) yaitu memebangun benteng dan mengelilingi keratin sehingga hal itu menjadi sebuah rutinitas bagi para kraton akan tetapi ketika kerajaan sudah membangun parit di sekitar beten, akhirnya tugas mengelilingi di alhikan kepada abdi ndalem kraton agar terkesan militer paa abdi ndalem melakukanya sambil membaca doa di dalam hati supaya agar di beri keselamatan pada hidupnya. Hingga sampai sekarang akhirnya ritual tersebut tidak hanya di lakukan para ndalem kraton akan tetapi di lakukan  secara terbuka sehingga siapapun boleh ikut tanpa ada batasan usia.

Fonenma di atas menjukan salah satu contoh bahwa di tanan jawa terdapat ritual yang tetap di lakukan oleh masyarakatnya dengan sepenuh hati tanpa ada pakasaan sedikttpun padahal zaman sekarang adalah zaman yang sudah modern dan tentu banyak kebudayaan atau ritual yang sudah luntur bahkan menghilang di karnakan ada pengaruh kebudayaan luar yang datang ke tanah jawa ini.

Ritual ini juga memberikan kesan tindakan tersendiri yaitu di antaranya tindakan tradisional (kebiasaan berlangsung lama dan bersifat turun menurun), tindakan afeksi ( tindakan yang di pengaruhi oleh  kondisi emosional atau kebutuhan psikologis pelaku) dan tindakan rasionalitas nilai ( tindakan yang di dasari  degan sebauh keyakinan tertentu seperti kebenaran, keindahan, keadilan atau dapat juga di pengaruhi keyakinan terhada tuhan).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun