Pertamina sebagai BUMN energi terbesar di Indonesia, tengah menghadapi ujian berat. Sejumlah skandal korupsi dan dugaan penyalahgunaan kewenangan telah mencoreng reputasi perusahaan yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional. Skandal korupsi dalam pengelolaan minyak mentah di PT Pertamina (Persero) telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan pelat merah tersebut. Dengan total kerugian negara yang ditaksir mencapai 193,7 triliun.
Masyarakat yang dulu melihat Pertamina sebagai simbol ketahanan energi kini mulai dipertanyakan kredibilitasnya. Di tengah terpaan isu-isu negatif, muncul pertanyaan besar, apakah citra Pertamina masih bisa diselamatkan?Â
"Gejolak di masyarakat ini seperti rasa dikhianati. Selama ini mereka merasa nyaman menggunakan BBM nonsubsidi seperti Pertamax, tetapi ketika muncul dugaan blending atau pengoplosan BBM nonsubsidi, ditambah dengan respons yang kurang proporsional dan cenderung terlambat, wajar jika reaksi negatif masyarakat begitu besar. Bahkan, tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memunculkan gerakan di media sosial untuk meninggalkan Pertamina," ujar ekonom INDEF, Abra Tallatov, dalam diskusi Kompas.com TALKS yang mengusung tema "Megakorupsi Tata Kelola Minyak: Jangan Hanya Ganti Pemain" di Menara Kompas, Kamis (20/03/2025).
BBM Oplosan vs BlendingÂ
Sebelum terburu-buru menarik kesimpulan, penting untuk memahami perbedaan antara BBM oplosan dan blending.Â
Blending adalah proses resmi yang dilakukan oleh Pertamina untuk menyesuaikan spesifikasi BBM sesuai standar yang telah ditetapkan. Proses ini melibatkan pencampuran komponen bahan bakar dengan takaran yang sudah dihitung secara ilmiah dan diawasi secara ketat. Â Blending merupakan proses yang dilakukan melalui kerja sama dengan Pertamina dan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 jo PP Nomor 30 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.Â
Sementara itu, BBM oplosan adalah praktik ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan mencampurkan bahan-bahan tertentu ke dalam BBM demi keuntungan pribadi. Campuran ini seringkali melibatkan zat yang tidak sesuai standar, seperti minyak tanah atau aditif lain yang berpotensi merusak mesin kendaraan.Â
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah oplosan oleh Kejaksaan Agung dianggap kurang tepat, mengingat blending dalam industri migas merupakan proses yang sah dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Kesalahan dalam penggunaan istilah oplosan oleh Kejaksaan Agung semakin memperkeruh keadaan. Alih-alih memperjelas duduk perkara, hal ini justru membuat masyarakat semakin bingung dalam membedakan antara blending yang sah secara hukum dan praktik ilegal pencampuran BBM oleh oknum tertentu.Â
Di tengah derasnya informasi yang beredar, kebingungan ini semakin diperparah oleh minimnya edukasi mengenai mekanisme distribusi BBM. Ketika kualitas bahan bakar berubah atau kendaraan mengalami masalah, masyarakat cenderung langsung menyalahkan Pertamina tanpa memahami regulasi yang mengatur industri migas. Di sisi lain, jika memang terdapat praktik oplosan di luar mekanisme resmi, maka tanggung jawab ada pada pemerintah dan perusahaan untuk menindak tegas para pelakunya.Â
Menurut ekonom INDEF, Abra Tallatov, isu ini telah berdampak besar pada kepercayaan publik terhadap Pertamina. Ia menyoroti bahwa reaksi yang lambat dari perusahaan dan pemerintah justru memperburuk situasi.Â