Panic buying adalah fenomena di mana masyarakat membeli barang dalam jumlah besar secara berlebihan karena kekhawatiran akan kelangkaan atau kenaikan harga, terutama menjelang momen tertentu seperti Hari Raya Lebaran. Perilaku ini biasanya dipicu oleh ketakutan kehabisan stok barang penting, kenaikan harga yang tidak terkendali, atau pengaruh lingkungan dan media yang memperkuat kepanikan. Dampak dari panic buying dapat berupa kelangkaan barang di pasaran, lonjakan harga, pemborosan akibat belanja berlebihan, serta meningkatnya stres di tengah masyarakat. Untuk menghindari panic buying, penting bagi individu untuk merencanakan belanja dengan bijak, membeli sesuai kebutuhan, serta mempertimbangkan alternatif seperti belanja lebih awal atau melalui platform daring.
Panic buying danFOMO (Fear of Missing Out) memiliki hubungan erat, karena keduanya didorong oleh rasa takut kehilangan sesuatu. FOMO adalah fenomena psikologis di mana seseorang merasa cemas atau takut tertinggal dibanding orang lain. Menjelang Lebaran, FOMO sering memicu panic buying ketika masyarakat melihat orang lain mulai memborong barang kebutuhan pokok atau membaca berita tentang kelangkaan stok. Hal ini menciptakan efek domino, di mana semakin banyak orang yang ikut-ikutan belanja dalam jumlah besar karena takut kehabisan, meskipun sebenarnya pasokan barang masih mencukupi.
Pada Sabtu pagi yang tenang, tiba-tiba mamahku muncul dengan misi mendadak, "Kak, besok beli bahan-bahan nastar buat lebaran, yuk!" ajak mamahku. Aku yang lagi bersantai di kamar seketika syok berat mendengarnya, bulan puasa aja belom udah mau prepare nastar lebaran aja! Setelah ditelusuri lebih dalam, ada beberapa penyebab kenapa bisa terjadi yang namanya Panic Buying, ini dia faktor-faktornya...
1. Takut kehabisan barang. Salah satu penyebab utama panic buying adalah kekhawatiran bahwa barang kebutuhan pokok akan habis sebelum Lebaran. Hal ini sering dipicu oleh meningkatnya permintaan, laporan media tentang kelangkaan stok, atau pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Produk seperti beras, minyak, gula, dan daging menjadi incaran utama karena dianggap esensial untuk persiapan hari raya. Ketakutan ini semakin diperparah ketika melihat rak-rak kosong di toko atau mendengar orang lain memborong barang dalam jumlah besar. Akibatnya, masyarakat terdorong untuk membeli lebih dari yang dibutuhkan, meskipun pasokan sebenarnya masih cukup.
2. Kenaikan Harga yang Tidak Terkendali. Menjelang Hari Raya, harga bahan pokok cenderung mengalami kenaikan akibat lonjakan permintaan. Hal ini mendorong banyak orang untuk membeli dalam jumlah besar lebih awal sebagai langkah antisipasi agar tidak perlu membayar lebih mahal di kemudian hari. Selain faktor permintaan, spekulasi pasar dan distribusi yang terhambat juga berkontribusi terhadap kenaikan harga. Pedagang sering menaikkan harga karena melihat tingginya minat beli, sementara gangguan pasokan dapat semakin memperburuk situasi. Akibatnya, panic buying semakin meningkat karena masyarakat khawatir harga akan terus meroket jika tidak segera berbelanja.
3. Pengaruh Media dan Lingkungan. Media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap ketersediaan barang menjelang Lebaran. Berita tentang kelangkaan bahan pokok, lonjakan harga, atau antrean panjang di supermarket sering kali memicu kepanikan, meskipun situasi sebenarnya mungkin tidak seburuk yang diberitakan. Tayangan gambar rak kosong atau liputan tentang pembeli yang berebut barang semakin memperkuat kekhawatiran, membuat banyak orang merasa perlu segera berbelanja sebelum kehabisan. Ketika melihat keluarga, tetangga, atau teman-teman mulai memborong kebutuhan Lebaran, individu lain cenderung terdorong untuk ikut serta agar tidak tertinggal. Fenomena ini dikenal sebagai efek psikologis herd mentality, di mana orang-orang bertindak berdasarkan apa yang dilakukan mayoritas tanpa benar-benar mempertimbangkan kebutuhan mereka sendiri.
Selain faktor psikologis dan sosial, strategi pemasaran juga memainkan peran penting dalam memperkuat fenomena panic buying. Menjelang Lebaran, toko dan platform e-commerce berlomba-lomba menawarkan diskon besar, promo kilat, serta flash sale yang menarik perhatian konsumen. Kampanye pemasaran ini tidak hanya dirancang untuk meningkatkan penjualan, tetapi juga memanfaatkan rasa urgensi agar masyarakat terdorong membeli lebih banyak dari yang sebenarnya dibutuhkan.
Taktik pemasaran psikologis seperti stok terbatas atau hanya tersisa 3 item lagi! menciptakan ilusi kelangkaan yang mempercepat keputusan pembelian impulsif. Masyarakat yang awalnya berniat berbelanja secukupnya menjadi khawatir dan tergoda untuk segera membeli sebelum kehabisan. Dalam suasana menjelang Lebaran, ketika permintaan sudah tinggi, strategi ini semakin efektif karena diperkuat oleh rasa takut tertinggal (FOMO) dan kebiasaan konsumsi berlebihan. Akibatnya, panic buying semakin meluas, bukan hanya karena kebutuhan nyata, tetapi juga karena dorongan psikologis yang diciptakan oleh pemasaran agresif.Â
Untuk menghindari dampak negatif dari panic buying, penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam merencanakan belanja, membeli sesuai kebutuhan, dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang belum tentu akurat. Kesadaran kolektif dalam mengontrol pola konsumsi dapat membantu menjaga stabilitas pasokan dan harga, sehingga semua orang dapat menikmati momen Lebaran tanpa harus terjebak dalam kepanikan yang tidak perlu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI