Mohon tunggu...
Mutiara Yulia Amanda
Mutiara Yulia Amanda Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Universitas PGRI Kanjuruhan Malang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menulurusi Konsep Tanda Menurut Roland Barthes: Dari Denotasi hingga Mitos

17 Oktober 2025   09:21 Diperbarui: 17 Oktober 2025   09:21 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/l1Y2C5R6N

Roland Barthes adalah seorang ahli sastra, filsuf, dan kritikus budaya asal Prancis yang dikenal sebagai tokoh penting dalam perkembangan semiotika modern. Ia banyak terinspirasi oleh gagasan Ferdinand de Saussure, tetapi mengembangkannya lebih jauh dengan menambahkan dimensi budaya dan ideologi dalam analisis tanda.

Jika Saussure memandang tanda sebagai hubungan antara penanda (signifiant) dan petanda (signifi) yang bersifat linguistik, Barthes memperluasnya ke wilayah sosial dan budaya. Menurutnya, tanda bukan hanya persoalan bahasa, tetapi juga sarana untuk membangun makna dalam kehidupan sehari-hari, terutama melalui media, iklan, mode, dan budaya populer.

Bagi Barthes, tanda adalah sistem makna yang bekerja dalam dua tingkat, yaitu tingkat denotasi dan tingkat konotasi. Pada tingkat pertama, yaitu denotasi, tanda memiliki makna yang langsung dan objektif, sesuai dengan apa yang tampak. Misalnya, gambar bendera merah putih secara denotatif berarti kain dua warna, merah dan putih, yang dijahit menjadi satu. Namun, pada tingkat kedua, yaitu konotasi, tanda memiliki makna tambahan yang bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh budaya, sejarah, serta nilai-nilai masyarakat. Dalam contoh tadi, bendera merah putih memiliki konotasi nasionalisme, perjuangan, dan identitas bangsa Indonesia.

Melalui pembagian ini, Barthes menunjukkan bahwa tanda tidak pernah netral. Tanda selalu membawa nilai, ideologi, dan makna tertentu yang dibentuk oleh masyarakat. Ia menegaskan bahwa di balik tanda-tanda sehari-hari terdapat sistem makna yang lebih dalam dan sering kali tersembunyi. Misalnya, dalam iklan, gambar seseorang yang memakai pakaian mahal bukan hanya menandakan busana, tetapi juga menggambarkan status sosial, kemewahan, atau gaya hidup tertentu. Artinya, tanda tidak hanya menyampaikan sesuatu, tetapi juga mempengaruhi cara kita melihat dunia.

Selain konsep denotasi dan konotasi, Roland Barthes juga memperkenalkan gagasan tentang mitos (myth) dalam semiotika. Mitos di sini bukan berarti cerita legenda kuno, melainkan cara berpikir yang membuat makna-makna budaya tertentu tampak alami dan wajar. Bagi Barthes, mitos adalah sistem tanda tingkat kedua. Artinya, hasil konotasi bisa menjadi tanda baru yang kemudian menghasilkan makna baru lagi. Proses ini membuat ideologi tertentu tampak "normal" dan tidak disadari oleh masyarakat.

Barthes banyak mengkritik cara media dan budaya populer menyembunyikan ideologi di balik tanda-tanda. Dalam bukunya Mythologies (1957), ia menganalisis berbagai fenomena sehari-hari seperti iklan, mode, makanan, hingga olahraga. Ia menunjukkan bagaimana hal-hal sederhana itu sebenarnya penuh makna dan digunakan untuk memperkuat pandangan dunia tertentu. Misalnya, ia pernah menulis tentang iklan sabun yang menggambarkan kebersihan, kesegaran, dan kecantikan, padahal sebenarnya iklan tersebut berfungsi untuk menanamkan nilai konsumtif dan citra ideal tubuh.

Dalam pandangan Barthes, semiotika bukan hanya alat untuk membaca tanda, tetapi juga alat untuk membongkar makna tersembunyi dan ideologi di balik tanda-tanda tersebut. Ia ingin agar orang menjadi lebih sadar bahwa apa yang tampak alami sering kali adalah hasil dari rekayasa sosial. Dengan demikian, memahami semiotika berarti juga memahami bagaimana makna dibentuk, disebarkan, dan diterima dalam masyarakat.

Barthes juga membedakan dua jenis pembacaan terhadap teks atau tanda, yaitu pembacaan tertutup (readerly) dan pembacaan terbuka (writerly). Pembacaan tertutup adalah ketika pembaca menerima makna sebagaimana adanya tanpa mempertanyakan pesan di baliknya. Sedangkan pembacaan terbuka memberi ruang bagi pembaca untuk menafsirkan, menolak, atau bahkan menciptakan makna baru dari teks tersebut. Melalui konsep ini, Barthes mengajak masyarakat menjadi pembaca yang kritis dan aktif dalam menghadapi berbagai pesan dari media dan budaya.

Pemikiran Barthes memberi pengaruh besar dalam kajian budaya dan komunikasi masa kini. Dalam dunia modern yang dipenuhi oleh gambar, iklan, dan simbol, teori Barthes membantu kita memahami bagaimana tanda bekerja untuk membentuk pandangan masyarakat tentang kecantikan, kesuksesan, cinta, atau kebahagiaan. Misalnya, iklan sering menampilkan citra orang yang bahagia karena membeli produk tertentu, seolah kebahagiaan dapat dibeli. Padahal, itu adalah mitos modern yang dibangun oleh budaya konsumtif.

Melalui teori tanda Roland Barthes, kita diajak untuk tidak hanya melihat "apa" yang disampaikan, tetapi juga "bagaimana" dan "mengapa" makna itu dibentuk. Bahasa, gambar, dan simbol ternyata bisa menjadi alat kekuasaan yang membentuk cara berpikir manusia. Dengan berpikir kritis, kita dapat menyadari bahwa makna bukan sesuatu yang tetap, melainkan bisa dibongkar dan dipahami dari berbagai sudut.

Dengan demikian, konsep tanda menurut Roland Barthes mengajarkan kita bahwa setiap hal di sekitar kita---baik tulisan, gambar, mode, maupun iklan adalah sistem tanda yang menyimpan pesan dan ideologi. Memahami teori Barthes membantu kita menjadi pembaca yang lebih cerdas, kritis, dan sadar terhadap makna-makna yang tersembunyi di balik budaya modern yang kita konsumsi setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun