Pendahuluan
Pernahkah kita memperhatikan betapa mudahnya kita melewatkan berita duka di media sosial? Ada anak yang kelaparan, korban konflik, atau keluarga yang kehilangan segalanya karena bencana---namun jari kita hanya menggulir ke bawah, seperti biasa. Tidak ada jeda, tidak ada refleksi, bahkan kadang tidak ada rasa.
Kita sudah terbiasa. Terlalu terbiasa.
Di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa, justru ada sesuatu yang pelan-pelan memudar: empati. Apakah era digital membuat kita lebih terhubung secara informasi, tetapi semakin jauh secara emosional?
1. Terlalu Banyak Informasi, Terlalu Sedikit Kepedulian
Di media sosial, kita dihujani berita setiap menit---kisah inspiratif, tragedi, hingga kontroversi. Otak kita kewalahan memilah, dan tanpa disadari, kita belajar untuk tidak merasa apa-apa. Istilah psikologi menyebutnya compassion fatigue, yaitu kelelahan emosional akibat terlalu sering melihat penderitaan tanpa bisa berbuat apa-apa.
Akibatnya? Kita menjadi saksi diam dari banyak peristiwa, tanpa benar-benar tersentuh.
2. Empati yang Tereduksi Jadi Emoji
Saat seseorang mencurahkan kesedihannya di media sosial, respons yang umum muncul hanyalah emoji sedih atau komentar singkat seperti "semangat ya" atau "turut berduka". Padahal empati bukan hanya soal reaksi cepat, tapi tentang kehadiran hati. Tentang upaya memahami dan menemani perasaan orang lain.
Namun, di era digital yang serba instan, segala hal dipadatkan. Termasuk rasa.