Fenomena intoleransi dan perundungan di sekolah masih sering menghiasi pemberitaan di Indonesia. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa ruang pendidikan belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman dan inklusif bagi semua siswa. Padahal, sekolah seharusnya menjadi tempat anak belajar hidup berdampingan tanpa melihat perbedaan agama, suku, ataupun latar sosial. Di tengah kondisi ini, penerapan pendidikan multikultural menjadi semakin mendesak. Bukan sekadar gagasan ideal, melainkan kebutuhan penting agar generasi muda memahami makna keberagaman dan menghargainya dalam kehidupan nyata.
Konsep pendidikan multikultural berakar pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap perbedaan. Dalam perspektif sosiologi pendidikan, Emile Durkheim menjelaskan bahwa fungsi utama pendidikan adalah menciptakan solidaritas sosial di tengah masyarakat yang beragam. Sekolah menjadi tempat pertama di mana anak belajar berinteraksi dengan berbagai latar belakang budaya, agama, dan ekonomi. Jika nilai-nilai ini gagal ditanamkan, maka sekolah bisa menjadi sumber lahirnya sekat sosial dan sikap diskriminatif yang terbawa hingga ke kehidupan masyarakat luas.
Sayangnya, praktik pendidikan multikultural di Indonesia masih sering berhenti pada tataran seremonial. Perayaan hari besar keagamaan atau kegiatan bertema budaya memang menunjukkan pengakuan terhadap perbedaan, tetapi belum menyentuh akar pembelajaran kritis tentang makna keberagaman itu sendiri. Berdasarkan hasil survei Setara Institute (2023), sekitar 34% siswa memiliki pandangan eksklusif terhadap teman yang berbeda agama, dan 27% guru belum pernah mendapatkan pelatihan terkait pendidikan multikultural. Angka ini menunjukkan bahwa konsep toleransi belum tertanam secara menyeluruh dalam sistem pendidikan nasional.
Dari sudut pandang antropologi pendidikan, pendekatan multikultural menuntut pemahaman terhadap konteks sosial dan budaya peserta didik. Seorang guru tidak bisa hanya mengajar berdasarkan kurikulum nasional tanpa mempertimbangkan latar budaya siswa. Seperti proses belajar di wilayah adat atau daerah terpencil membutuhkan strategi yang menghormati kearifan lokal agar siswa merasa diakui dan dihargai. Antropolog James Banks menyebut model ini sebagai transformative multicultural education, yaitu pendidikan yang mendorong perubahan sosial dan membuka ruang dialog antarbudaya. Sehingga, pendidikan tidak hanya menjadi proses transfer pengetahuan, tetapi juga media pembentukan karakter sosial yang inklusif.
Tantangan terbesar pendidikan multikultural saat ini datang dari perkembangan teknologi dan media sosial. Generasi muda hidup dalam era digital yang penuh dengan arus informasi, opini, dan perdebatan identitas. Di satu sisi, internet membuka akses luas terhadap budaya global, namun di sisi lain, ia juga menjadi ruang tumbuhnya ujaran kebencian dan stereotip. Tanpa kemampuan berpikir kritis dan empati budaya, siswa mudah terseret dalam arus polarisasi. Sehingga, pendidikan perlu mengajarkan literasi budaya digital, yaitu kemampuan memahami, menilai, dan menghormati keberagaman di dunia maya. Guru dan sekolah dapat memainkan peran besar dalam membimbing siswa agar lebih bijak dalam berinteraksi di ruang digital.
Pendidikan multikultural tidak harus diwujudkan melalui kurikulum baru. Nilai-nilainya dapat diintegrasikan dalam kegiatan belajar sehari-hari melalui cara-cara sederhana namun bermakna. Guru dapat mengajak siswa berdiskusi tentang isu sosial aktual, mengerjakan proyek berbasis budaya lokal, atau bekerja sama lintas kelompok dalam kegiatan sekolah. Pemerintah juga perlu memastikan tersedianya pelatihan rutin bagi pendidik agar mereka memiliki pemahaman dan keterampilan mengelola keberagaman di kelas. Langkah ini sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka, yang memberi ruang bagi sekolah untuk mengembangkan pembelajaran sesuai kebutuhan dan karakter sosial-budaya peserta didik.
Pendidikan multikultural tidak hanya bermanfaat untuk mencegah intoleransi, tetapi juga memperkuat identitas kebangsaan. Dengan memahami keberagaman, siswa belajar bahwa menjadi "Indonesia" berarti hidup dalam perbedaan yang disatukan oleh nilai-nilai kemanusiaan. Semangat Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, melainkan prinsip yang harus dihidupkan melalui praktik pendidikan sehari-hari. Ketika siswa mampu menghargai keberagaman di sekolah, mereka akan tumbuh menjadi warga negara yang lebih terbuka, adil, dan siap hidup berdampingan di tengah masyarakat global.
Pendidikan multikultural memiliki peran vital dalam menjaga keutuhan bangsa di tengah dinamika sosial yang terus berubah. Pendidikan bukan hanya sarana mencetak individu berprestasi, tetapi juga wadah membentuk manusia yang berempati dan berperikemanusiaan. Relevansinya semakin nyata di tengah meningkatnya isu intoleransi, polarisasi politik, dan perbedaan nilai sosial di masyarakat modern.
Membangun pendidikan yang menghargai keberagaman adalah tanggung jawab bersama. Guru perlu menanamkan nilai toleransi melalui keteladanan di kelas, orang tua menumbuhkan empati di lingkungan keluarga, dan pemerintah menjamin sistem pendidikan yang inklusif bagi semua anak bangsa. Karena pada akhirnya, pendidikan multikultural bukan hanya tentang belajar menerima perbedaan, melainkan belajar hidup bersama secara setara dan saling menghargai. Dengan cara inilah Indonesia dapat terus tumbuh sebagai bangsa yang kuat dan beradab di tengah keberagaman yang dimilikinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI