Mohon tunggu...
Muthakin Al Maraky
Muthakin Al Maraky Mohon Tunggu... Guru - Relawan di Komunitas Literasi Damar26 Cilegon

Tukang ngelamun yang mencintai buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pribumi dan Non-Pribumi: Eksistensi Etnis Tionghoa di Indonesia

2 April 2022   12:47 Diperbarui: 2 April 2022   13:27 4110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://pixabay.com/id/photos/kesatuan-kerja-sama-kepercayaan-1917780/

Berbicara mengenai pribumi dan non-pribumi, saya teringat akan ucapan seorang pejuang yang berasal dari etnis Tionghoa, John Lie namanya. Siapakah orang pribumi dan non-pribumi? ia mengatakan "Orang pribumi adalah orang-orang yang Pancasilais, saptamargais, yang jelas-jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan non-pribumi adalah mereka yang suka korupsi, suka pungli, suka memeras dan melakukan subversi. Mereka itu juga sama menusuk bangsa kita dari belakang. Maka patutlah mereka digolongkan orang non-pribumi, karena pada hakikatnya mereka adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa! Jadi soal pribumi dan non-pribumi tidak boleh dilihat dari suku bangsa dan keturunan melainkan dari sudut kepentingan siapa yang mereka bela." John Lie menyatakan pendapatnya ke publik melalui majalah Monalisa, Januari 1980 (Nursam: 2008).

Sampai hari ini kita masih sering memakai istilah pribumi dan non-pribumi hanya melihat berdasarkan tanah kelahiran saja, akan tetapi kenapa pernyataan tersebut tidak berlaku untuk orang-orang Tionghoa yang terlahir di Indonesia? Orang  Jawa melahirkan anak di Sumatera, masih bisa disebut orang Indonesia. Tapi kenapa orang Tionghoa melahirkan anak di Sumatera, tidak disebut orang orang Indonesia, mereka disebut peranakan Tionghoa. Hal-hal inilah yang harus diperhatikan, diteliti, dikaji dan dipahami lebih dalam. Apabila kita melihat sejarah, etnis Tionghoa selalu mendapatkan diskriminasi dari para penguasa pada zamannya, dari masa kolonial Belanda sampai Rezim Suharto. Barulah pada masa reformasi ada keterbukaan dan ada kebebasan untuk orang-orang Tionghoa.

Istilah pribumi dan non-pribumi warisan Kolonial

Konsep atau istilah pribumi dan non-pribumi berawal dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang membagi tiga golongan penduduk di Indonesia. Golongan pertama yaitu warga negara kelas satu yang disebut Europeaneans, terdiri dari orang-orang yang berasal dari Eropa diantaranya orang-orang Belanda, Inggris dan bangsa kulit putih lainnya. Golongan kedua yaitu warga negara kelas dua yang disebut Vreemde Oosterlingen, terdiri dari orang-orang yang berasal dari Timur Asing diantaranya orang-orang Tionghoa, Arab dan India. Dan golongan ketiga yaitu warga negara kelas tiga yang disebut Inlanders, yang terdiri dari penduduk pribumi.

Peraturan ini dibuat guna melancarkan politik Devide et Impera atau politik adu domba yang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Sebelum bangsa Belanda ke Indonesia Indonesia, hubungan antara penduduk setempat (pribumi) dengan orang-orang Tionghoa berjalan dengan baik. Di Banten sendiri pada abad ke-17, peran utama orang Tionghoa adalah sebagai agen resmi dalam perdagangan. Mereka cukup dikenal masyarakat pedalaman untuk memperoleh kepercayaan para produsen lada. (Vermeulen: 2010).

Belanda melihat hubungan yang harmonis dan baik antara penduduk pribumi dan orang-orang Tionghoa adalah sebagai penghalang untuk menguasai seluruh nusantara. Maka dijalankan politik yang dinamakan dengan Devide et Impera untuk memisahkan hubungan antara penduduk pribumi dengan orang-orang Tionghoa. Diposisikanlah orang Tionghoa di golongan kelas dua dan juga mereka diberi kedudukan di atas warga pribumi seperti diangkatnya mereka sebagai Syahbandar, diijinkannya membuka rumah judi dan sebagai petugas pemungut pajak.

Melihat hal ini masyarakat pribumi memandang, kenapa orang-orang Tionghoa sebagai masyarakat pendatang diposisikan sebagai golongan kelas dua dan mereka juga diberi kedudukan oleh pemerintah kolonial sebagai Syahbandar dan pemungut pajak ? Seharusnya mereka tidak dibeda-bedakan dengan penduduk pribumi karena di satu sisi mereka adalah sebagai pendatang. Hal inilah yang membuat kecemburuan dan kebencian warga pribumi terhadap orang-orang Tionghoa karena telah diistimewakannya mereka oleh pemerintah kolonial Belanda. Inilah yang dinamakan politik devide et impera atau politik pecah belah (adu domba).

Tanpa disadari, sampai saat ini kita masih mengamalkan doktrin kolonial. Kita memandang orang-orang Tionghoa dengan sinis, sentimen, bahkan memandang mereka seakan-akan bukan bagian dari bangsa Indonesia. Dan kita masih menyebut atau memanggil orang Tionghoa dengan sebutan orang Chino (pandangan sinis), Wong Chine' (dialek jawa Banten yang artinya orang Cina) dan orang China. Padahal berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Melalui keppres tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengganti istilah "China" dengan "Tionghoa". Perlu adanya kampanye dan kesadaran pada masyarakat untuk menghilangkan istilah pribumi dan non-pribumi, demi menghindari rasialisme etnis.

Pejuang dari Kalangan Etnis Tionghoa

Perlu diketahui, ketika perang kemerdekaaan para pejuang tidak hanya berasal dari daerah-daerah yang ada di Indonesia, akan tetapi seluruh rakyat Indonesia yang mencintai negeri ini berjuang demi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, termasuk pejuang--pejuang dari etnis Tionghoa. Selain terlibat dalam kemiliteran, para tokoh etnis Tionghoa juga berperan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di dalam buku karya D. Rini Yunarti yang berjudul "BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI" tercatat nama-nama Tionghoa di susunan pengurus BPUPKI, diantaranya: Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, dan Mr. Tan Eng Hoa.  Bisa dikatakan mereka adalah founding fathers Negara Republik Indonesia, karena mereka ikut berpatisipasi dalam sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun