Mohon tunggu...
Muslimin
Muslimin Mohon Tunggu... Dosen - Staff Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

Minum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Laut Cina Selatan dan Transformasi Geostrategis Kemaritiman Nasional

11 Mei 2024   17:09 Diperbarui: 13 Mei 2024   21:33 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pendahuluan

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki catatan sejarah maritim yang gemilang. Hal ini ditandai oleh keberadaan Kerajaan Sriwijaya (Abad 7-13) yang menguasai selat Malaka dan Kerajaan Majapahit (Abad 13-16) yang menguasai Nusantara dan sekitarnya. Kedua peradaban besar tersebut memiliki hubungan internasional yang cukup luas pada masanya. Zhou Qufei yang hidup pada era kekaisaran Chunxi (1178) telah memberikan gambaran rute menuju Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Pulau Sumatera dan menunjuk wilayah di sekitar Laut Cina Selatan sebagai pintu masuknya (Li, 2020). Dengan rute tersebut, interaksi peradaban kerajaan yang ada di Indonesia dan Cina terus terbangun, melalui hubungan pasang surut diplomasi dan invasi dari era Sriwijaya, Singosari hingga Majapahit.

Catatan-catatan sejarah menjadi penting untuk mengenali jati diri bangsa. Dalam konteks sengketa di Laut Cina Selatan, Cina justru mempergunakannya sebagai klaim terhadap wilayah-wilayah di kawasan tersebut. Klaim otoritas Cina terhadap wilayah-wilayah di Kawasan Laut Cina Selatan didasarkan pada catatan sejarah dimana bangsa Cina sejak era Dinasti Han (110 SM) telah melakukan ekspedisi laut ke Spratly Islands pada masa Kekaisaran Dinasti Ming 1403-1433 Masehi. Klaim Cina tersebut selanjutnya diperkuat dengan mengeluarkan peta nine-dashed lines (sembilan garis putus-putus) pada tahun 1947 dan Mei 2009. Berdasarkan peta itu, Cina mengklaim semua pulau dan perairan yang berada di wilayah tersebut masih miliknya, termasuk kandungan laut maupun tanah di bawahnya (Umar & Naya, 2020).

Meningkatnya ketegangan situasi di Kawasan Laut Cina Selatan tidak terlepas dari adanya kebijakan pembangunan wilayah Cina dan strategi perdagangan luar negerinya melalui Belt and Road Initiavies/BRI (Tian et al., 2024). Melalui BRI, Cina melakukan investasi maritim yang cukup besar untuk meningkatkan kemampuan maritimnya, yang salah satunya adalah kemampuan pelabuhan-pelabuhan Cina dalam melakukan konektivitas dengan lebih dari 200 negara dan 600 pelabuhan utama di dunia (Li et al., 2020).

Berdasarkan perjanjian bilateral BRI di negara ASEAN, investasi terbesar BRI Cina berada di negara Kamboja dengan total sebanyak 11 proyek, disusul di negara Filipina dan Vietnam dengan masing-masing sebanyak 6 proyek, Brunei sebanyak 3 proyek dan terakhir Malaysia dan Indonesia masing-masing sebanyak 2 proyek. Berdasarkan sebaran proyek BRI ASEAN, Cina menempatkan Kamboja sebagai basis transportasi dan logistiknya dengan berinvestasi pada 4 proyek dan Vietnam dengan jumlah 2 proyek (Song & Fabinyi, 2022).

Kamboja sebagai basis investasi Cina di ASEAN merupakan negara yang tidak memiliki kepentingan langsung dengan sengketa kawasan di Laut Cina Selatan. Persoalan Laut Cina Selatan merupakan salah satu masalah yang masih mengganjal dalam pengembangan kerjasama Cina-ASEAN. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu alasan mengapa Cina lebih mengkonsentrasikan investasinya di negara Kamboja, negara yang tidak memiliki kepentingan langsung dengan sengketa di Laut Cina Selatan dan menjadikannya sebagai basis logistik dan transportasi Cina di wilayah ASEAN.


Investasi Cina di Indonesia dan kedaulatan nasional di Kepulauan Natuna (yang diklaim oleh Cina) adalah dua permasalahan yang berbeda. Hal ini terlihat dari sikap Presiden Jokowi yang menggelar rapat di atas Kapal Perang di Kepulauan Natuna, setelah insiden masuknya kapal nelayan Cina ke wilayah Kepulauan Natuna. Sikap Presiden Jokowi tersebut menjadi sinyal bahwa Indonesia lebih memprioritaskan kedaulatan nasional di atas kepentingan investasi langsung negara lain. Selain itu, investasi BRI-Cina akan selalu mengutamakan kepentingan nasionalnya sendiri. Dalam beberapa hal, Indonesia tetap harus waspada terhadap motif investasi Cina di Indonesia. Hal ini searah dengan rekomendasi Nugent & Lu (2021), yang menyatakan bahwa motif dari proyek-proyek BRI Cina di negara lain adalah untuk mengurangi masalah-masalah over-capacity dan polusi yang terjadi di Cina.

Indonesia sangat berkepentingan dengan Kawasan Laut Cina Selatan (LCS), mengingat klaim Cina terhadap LCS seluas 3,5 juta kilometer persegi salah satunya adalah memasukan sebelah timur Kepulauan Natuna, selain sebelah pantai selatan Vietnam, sebelah barat pantai Sabah dan Serawak (Malaysia), dan Pulau Palawan dan Luzon Filipina (ibid). Klaim Cina tersebut tidak terlepas dari adanya Agenda Jalur Sutra Maritim Abad 21, yang merupakan bagian dari BRI-Cina, yang menandai perubahan orientasi Cina dari yang sebelumnya memiliki orientasi budaya daratan dan pertanian, beralih kepada budaya maritim yang kuat.

Perubahan orientasi tersebut dilakukan melalui strategi kelautan Cina yang berpartisipasi aktif dalam organisasi internasional yang mengatur kelautan dan memiliki peran kepemimpinan kunci pada organisasi-organisasi yang progresif (Mallory et al., 2022). Untuk mencapai visi maritimnya, pemerintah Cina melakukan kampaye yang ambisius dan khusus untuk mendidik masyarakatnya terkait dengan urusan-urusan kelautan dan membangun identitas atau citra Cina sebagai kekuatan maritim yang besar. Cina menyebutnya sebagai promosi maritime soft power (ibid).

Upaya kampanye maritime soft power Cina bertujuan untuk membangkitkan nasionalisme dan kesadaran geopolitik masyarakatnya dalam penguatan geo-kemaritiman. Melalui pariwisata, komunitas masyarakat sipil Cina menginisiasi kegiatan pariwisata di Laut Cina Selatan. Dengan menggunakan kapal pesiar, para wisatawan mengunjungi pulau-pulau non-militer (Quanfu, Yinyu, dan Yagong) dalam suasana patriotik yang mengkampanyekan pulau-pulau tersebut adalah milik Cina sejak zaman dahulu, sebagai upaya re-teritorialisme wilayah Laut Cina Selatan (Huang, 2022; Xu, 2023; Su, 2024). Selain kemaritiman, Cina secara umum menggunakan strategi soft power dalam politik luar negerinya, melalui bantuan kepada negara-negara lain yang jumlahnya terus meningkat secara dramatis dalam bidang kebudayaan, pendidikan dan investasi (Arif, 2017).

Promosi citra Cina sebagai kekuatan maritim yang besar harus diantisipasi oleh Indonesia. Dengan adanya investasi BRI-Cina pada infrastruktur jalan, kereta api, pelabuhan dan zona ekonomi khusus di Kamboja, hal ini memberikan sinyal adanya keinginan Cina menguasai wilayah maritim Asia Tenggara dengan mengunci akses laut internasional yang melalui Laut Cina Selatan. Dalam skema konflik wilayah di Laut Cina Selatan, Kamboja dapat berperan sebagai satelit Cina, yang memberikan akses masuk ke wilayah Asia Tenggara melalui jalur darat dan udara, selain dukungan pelabuhan laut yang dibangun oleh Cina di Kamboja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun