Mohon tunggu...
Dewi Ummu Syahidah
Dewi Ummu Syahidah Mohon Tunggu... Aktivis Muslimah / Pengamat politik

Writer/scriptwriter/narator/coach hijrah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meneladani Rasulullah Tak Sekedar di Bibir Saja

26 September 2025   09:54 Diperbarui: 26 September 2025   09:54 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penulis Dewi Ummu Syahidah 

Masih hangat umat Islam merayakan Maulid Nabi Muhammad dalam berbagai perayaan. Baik secara tradisional dengan sekedar makan bersama, meski entah korelasinya apa dengan Maulid Nabi, juga ada yang masih menggelar seremonial pengajian dengan panggung lengkap dengan grup hadroh, gema sholawat dan berbagai jenis perayaan dilakukan. Semua tujuannya satu, mengingat jasa Rasulullah di hari lahir beliau untuk menambah kecintaan pada Rasulullah. 

Tapi percaya atau tidak, perayaan Maulid Nabi tidak ada pada masa Khulafaur Rasyidin, bahkan Rasulullah sendiri pun tidam pernah meminta para sahabat untuk mengingatnya dan merayakannya. Peringatan Maulid Nabi dituliskan dalam beberapa literasi, pertama kali secara resmi diselenggarakan oleh Raja Muzhaffar Abu Said al-Kaukabri (atau Kuukuburi), gubernur wilayah Irbil di Irak, pada abad ke-12 Masehi, atau awal abad ke-7 Hijriah. Perayaan ini dilakukan dengan resmi dna megah, dimana perayaan ini saat itu dilakukan bertujuan besar untuk menyatukan umat Islam dan membangkitkan semangat perjuangan, terutama di tengah perang salib. Perayaan ini dihadiri oleh banyak ulama dan kaum sufi, dan dianggap sebagai ekspresi budaya untuk memperingati teladan dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan di Indonesia, perayaan Maulid Nabi diperkenalkan oleh Wali Songo untuk media dakwah dan akulturasi budaya. Tujuannya adalah untuk menarik simpati masyarakat Jawa agar tertarik memeluk Islam, dengan menyelaraskan tradisi kumpul-kumpul yang sudah ada dengan nilai-nilai Islam. 

Jika hari ini mengadakan maka ada sebaguan yang pro dan kontra terkait perayaannya yang kadang justru terkesan 'tidak nyambung'. Bahkan ada ulama salafy yang menyebut ini sebagai bid'ah karena selain tidak ada pada jaman nabi juga cenderung meniru Barat dalam merayakan Maulid. Berlepas dari semua ketegangan pendapat boleh tidaknya perayaan Maulid, yang justru kita perlu renungkan adalah seberapa besar cinta kita kepada Rasulullah, apakah kita sudah mati-matian berupaya untuk meraih syafa'atnya kelak, bagaimana pula kita meneladani Rasulullah, bagaimana aplikasi ajaran Rasulullah dalam kehidupan kita? Ini yang seharusnya kita introspeksi. 

Hidup dalam sekulerisme yang justru menjauhkan agama dari kehidupan telah menjadikan kita menjadi manusia yanh jauh dari meneladani Rasulullah. Hidup dengan aturan manusia, hidup dengan liberal atau kebebasan jelas tidak mencerminkan ketaatan kepada Rasulullah. Mana ada bukti cinta justru menentang yang dia cintai. Muslim hari ini justru banyak yang berkiblat pada Barat sebagai panduan. Berpolitik dengan denokrasi, berbicara dan beraikap sengan liberal, berekonomi dengan kapitalisme jelas hal ini justru makin menjauhkan dari realitas Kecintaan pada Rasulullah yang sebenarnya. 

JJika mencintau Rasulullah, seharusnya kita meniru apapun yang menjadi ajaran Rasulullah. Buktikan Kecintaan kita kepada Rasulullah dengan menunjukkan ketundukan kita pada aturan yang dibawa Rasulullah. Daei al Quran sebagai kalamullah juga kepada hadits Rasul yang didalamnya mengandung aturan komprehensif untuk mengatur manusia. Kita seharusnya bisa beribadah lurus seperti yang dilakukan Rasulullah, berekonomi tanpa riba dan hanya yang halal saja dalam bertransaksi ekonomi,, tidak justru berprinsip kapitalisme dalam berekonomi. Karena kapitalisme hari ini telah nyata membuat banyak kerusakan di muka bumi. Bersosial pun seharusnya dengan aturan Islam yang luar biasa menjaga manusia dari kerusakan. Islam memgatur hukum pergaulan laki-laki dan perempuan, membatasi interaksi hanya pada yang hakal saja bahkan adanya batasan aurat dan tata pergaulan yang jauh dari zina. Hal ini jelas telah menjadi ajaran dari Rasulullah. 

JJika kita mencintai Rasulullah, kenapa hanya sekedar merayakan maulidnya? Bukankan bukti cinta dengan menirunya, melaksanakan perintahnya adalag bentuk kecintaan tertinvvi kepada Rasulullah? Kurang apa Rasulullah menuntun kita pada kemaslahatan di dunia? Cintanya Rasulullah kepada umatnya nampak pada akhir hayat beliau justru yang diucap adalah "ummati... Ummati... Ummati.." 

Sedangkan kita disini, mungkim tida tiap hari menyebut nama beliau, dimana cintamu? Kita justru jauh dari meneladani beliau dalam bernegara, menerapkan hukum, apa cinta iti demikian? Retoris. Tak perlu dijawab, cukup direnungkan. 

Wallahu a'lam. 

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad... 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun