Demam Digitalisasi: Solusi Strategis atau Sekadar Ilusi?
Dalam era di mana kata "digitalisasi" menjadi mantra baru di ruang rapat perusahaan, banyak pimpinan tergoda untuk meyakini bahwa adopsi teknologi otomatis akan membawa lompatan kinerja. Artikel Jailyn Berenice Palad ikut mengusung nada optimistis tersebut, menyarankan beragam pendekatan digital demi peningkatan produktivitas dan efisiensi. Namun, sebelum kita terlalu larut dalam antusiasme itu, perlu ditanyakan: apakah yang ditawarkan benar-benar strategi jitu, atau sekadar daur ulang narasi teknologi dalam kemasan akademik?
Janji Manis Digitalisasi: Siapa yang Diuntungkan, Siapa yang Terjebak?
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa AI, cloud computing, dan data analytics mulai banyak diadopsi oleh berbagai organisasi. Tapi, tanpa pemahaman mendalam terhadap kondisi internal dan tantangan struktural, inisiatif digital ini berisiko menjadi investasi mahal yang gagal membuahkan hasil. Sudah sering kita mendengar tentang sistem IT bernilai miliaran yang akhirnya hanya berakhir sebagai fitur tak terpakai atau aplikasi yang bahkan pegawai pun enggan membuka.
Penulis menyoroti pentingnya dukungan dari jajaran manajemen dalam suksesnya transformasi digital. Tapi apakah persetujuan dari pimpinan cukup menjamin keberhasilan? Justru sering kali tekanan dari atas untuk "cepat digital" melahirkan proyek instan yang minim perencanaan dan miskin pemetaan kebutuhan nyata.
Angka-angka Survei: Fakta atau Fatamorgana?
Disebutkan bahwa 87% responden telah memulai atau akan memulai proses digitalisasi. Tapi, sejauh mana angka ini mencerminkan transformasi yang sesungguhnya? Apakah sekadar membeli software baru sudah bisa dianggap "bertransformasi"? Laporan tersebut tidak menjelaskan bagaimana kedalaman dan kematangan proses digital ini diukur.
Lebih dari setengah responden bahkan mengaku kesulitan mengintegrasikan teknologi baru dengan sistem lama. Ini sudah menjadi sinyal kuat bahwa digitalisasi bukan hanya soal perangkat, tapi juga soal tantangan struktural yang kompleks dan warisan sistem yang tidak kompatibel.
Teknologi: Alat Pendukung atau Sesembahan Baru?
Artikel ini seolah memperlakukan teknologi digital sebagai entitas penyelamat yang bisa menyelesaikan semua persoalan. Namun, teknologi hanyalah alat bantu. Tanpa pemahaman akan kondisi organisasi, budaya kerja, dan kesiapan SDM, teknologi malah bisa menjadi distraksi yang menutupi persoalan mendasar.
Di kalangan UKM maupun institusi publik, euforia terhadap teknologi sering kali tidak disertai kesiapan proses dan manajemen perubahan. Akibatnya, meskipun tools digital bertambah, gaya kepemimpinan dan alur kerja tetap stagnan, terjebak dalam pola pikir hierarkis yang lamban beradaptasi.
Budaya Inovasi: Realitas atau Lip Service?
Pentingnya membangun budaya inovatif dan kolaboratif memang disinggung, namun di lapangan, masih banyak organisasi yang enggan mengambil risiko dan takut gagal. Lingkungan kerja yang demikian tentu bukan tempat yang ideal bagi lahirnya ide-ide segar.
Fakta bahwa budaya organisasi perlu diubah terlebih dahulu kerap terlewatkan. Tanpa perubahan dalam pola kepemimpinan dan sistem insentif yang mendukung, maka budaya digital hanya akan menjadi jargon kosong.