Mohon tunggu...
Muslim Amiren
Muslim Amiren Mohon Tunggu... Dosen - Seorang futurist, easy going, dan berharap hidupnya bermanfaat banyak bagi diri, keluarga dan masyarakat sekitar

Dosen FMIPA, Jurusan Informatika. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. Usaha: NTA TOUR TRAVEL (tour operator dari Aceh untuk Dunia) Visi: Menjadi rahmatan lil Indonesiain. Misi: Menulis, merawat ingatan, melawan lupa. Hp/WA: 085277224606, email: ntatourtravel@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harta Wakaf: Investasi Cerdas untuk Hari Akhir

23 Agustus 2012   18:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:24 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selama puasa Ramadhan, saya merasa jadi orang yang agak "pesimis" akan dunia. Apalagi mengulang beberapa ajaran sufi Hamka dengan konsep hidup "sementara" di dunia. Dimana, rumah, mobil, tanah dan property lain tidak akan dibawa masuk ke dalam kubur. Semua itu akan tinggal di dunia, menjadi warisan bahkan rebutan untuk keluarga yang ditinggal.

Tapi rupanya kemaren Tuhan menjawab kegalauan saya. Itu terjadi ketika mengantar tamu saya (Fadila dan Ulfa) dari Medan menuju Sabang di Pelabuhan Ulee Lheu. Disana, saya bertemu dengan Pak Din, bos Mentari Tour yang Travellonya sering saya pinjam bila ada tamu. Karena lama nggak saling cerita, sayapun mengajak beliau minum kopi. Beliau memesan kopi Ulee Kareng, sedang saya memesan segelas Milo panas. Tak lama kemudian, ipar saya, Lukman yang mengantar tamu ikut bergabung. Jadilah kami saling berbagi cerita.

Saya tanya kenapa Hpnya sering mati ketika dihubungi. Beliau bilang, beliau nggak pernah mematikan Hp kecuali saat mau sholat berjemaah. Beliau mengamalkan untuk selalu ikut shalat berjemaah dalam keadaan sesulit apapun. Nah, mungkin sehabis sholat mungkin Hp lupa dihidupkan. Obrolan kamipun mulai berkisar antara sholat jemaah yang sangat berbeda jumlah jemaahnya antara dalam Bulan Ramadhan dan Pasca Ramadhan. Dimana waktu bulan puasa, jemaah penuh sesak hingga keluar meunasah (surau), sedang sekarang hanya tinggal para "langganan" saja.

Kemudian beliau menceritakan tentang Meunasah di kampungnya Punge Blang Cut, tempat bersandarnya Kapal Apung "Raksasa" pasca Tsunami. Meunasah desanya sekarang punya aset 6 pintu toko yang dibangun diatas tanah wakaf. Toko-toko tersebut dibangun dari dana dan material sumbangan warga. Tiap tahun toko-toko tersebut disewakan seharga 30 juta/tahun. Sedikitnya, menasah mendapat 180 juta per tahun. Dana itu kemudian dimanfaatkan untuk membangun meunasah dan mengayomi fakir miskin serta anak yatim. Coba bayangkan berapa besar pahala yang diterima secara terus menerus oleh orang yang mewakafkan tanah tersebut. Pahala yang terus mengalir tiada putus, hingga hari akhir nanti.

Lain lagi cerita Lukman. Ia mengatakan meunasah di kampungnya, Neusu juga punya tanah wakaf. Sayangnya, pengelolaannya tidak sebaik seperti di desa Pak Din. Bahkan meunasahnya punya 45 pintu kios  (bukan toko permanen) di pinggir jalan raya. Kios-kios tersebut disewakan antara 5-7 juta per tahun atau sekitar 250 juta per tahun. Sayangnya, uang tersebut tidak pernah masuk dalam kas meunasah. Kios itu dikuasai oleh mereka yang dekat dengan penguasa desa. Lukman juga pernah ditawari untuk memiliki satu pintu, tapi ditolak dengan alasan nggak sanggup menanggung resiko bila ditanya sama Malaikat nanti.

Namun, lanjut cerita Lukman, orang-orang yang menguasai kios-kios tersebut hidupnya jauh dari bahagia. Ada yang bercerai dengan istrinya. Ada yang sering cek-cok dalam rumah tangga. Bahkan ada yang jatuh melarat, tidak punya apa-apa lagi, bahkan saat-saat seperti Hari Raya sekarang. Mungkin, itu hukuman Allah langsung di dunia bagi orang-orang yang menguasai sesuatu yang bukan miliknya, apalagi harta agama.


Lukman kemudian mengingatkan, keluarga kakak ipar kami yang satu keluarga meninggal semua saat tsunami. Tanah rumah yang ditinggalkan dibuatkan dua buah rumah bantuan oleh desa. Ketika perangkat desa menyerahkan dua rumah tersebut kepada pihak keluarga kakak. Mereka mewakafkan tanah dan rumah-rumah tersebut kepada desa. Dengan harapan, semoga desa bisa memanfaatkannya untuk hal-hal bermanfaat, sehingga pahalanya bisa mengalir kepada kakak kami sekeluarga disana. Pihak keluarga bilang: "kita nggak punya apa-apa untuk bekal mereka, biarkan harta itu menjadi pendukung mereka di alam sana".

Pak Din kemudian mengatakan, coba kita bayangkan kalau ada tanah wakaf yang dijadikan sekolah atau pesantren yang melahirkan banyak orang-orang yang berguna. Maka pahala yang akan diterima oleh pewakafnya menjadi berlipat-lipat dan berketerusan hingga hari akhir. MasyaAllah, suatu potensi yang besar sekali.

Dalam hati kemudian saya berdoa: "Ya Allah, berilah saya kesempatan menjadi orang kaya yang memiliki banyak harta yang mampu saya wakafkan untuk kepetingan agama dan masyarakat". Saya ulangi doa Khalifah Umar bin Khattab yang kadang suka saya baca: "Ya Allah, tempatkan dunia dalam genggamanku, tetapi jangan masukkan dia dalam hatiku". Amin. Harta wakaf, inilah investasi cerdas untuk membawa harta kita menemani di kubur dan jadi fasilitas di hari akhir nantinya. Saat tidak ada tempat untuk meminjam atau meminta tolong. Ada yang berminat?

Salam Cerdas,

Mus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun