Mohon tunggu...
Murni Du Di Dam
Murni Du Di Dam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bernama asli Murni Oktarina. Dari lahir hingga saat ini tetap tinggal di kota Palembang. Pegawai BLU di Universitas Sriwijaya ini memiliki hobi membaca dan menulis fiksi. Untuk berkenalan bisa menghubunginya di murni.dudidam@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lagu Untuk Matahari

2 Maret 2015   15:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:17 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ayolah, Fania! Coba dulu, lama-lama kamu akan terbiasa!” bujuk Anto padaku dengan setengah memaksa.
Aku menggeleng kuat-kuat. “Aku tak mau! Itu tidak halal, Anto!” seruku lalu pergi meninggalkannya.
“Ah, sok suci kamu. Anak jalanan seperti kita ini tidak usah lagi memikirkan halal atau haram!” jerit Anto keras dengan wajah kesal.
Dengan hati miris, kulangkahkan kaki menyusuri jalanan beraspal di pinggiran Pasar Cinde. Aku menyesali sikap Anto, temanku itu. Ya, dia kini menambah penghasilannya yang biasa mengamen menjadi tukang copet. Entah dari siapa dia belajar, yang pasti aku tak akan mau menjadi pencopet seperti dirinya. Biarlah aku tetap seperti ini, mengamen di bus kota dan mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Walau hasilnya terkadang tak cukup, aku lebih bahagia karena uang yang kudapat merupakan uang halal. Aku tak akan menambah kehinaan diriku yang sudah menjadi anak jalanan dengan predikat sebagai tukang copet.
Sesampainya di lampu merah simpang Rumah Sakit Charitas, langsung kuhampiri sebuah Avanza hitam. Dengan riang kunyanyikan sebuah lagu kesukaanku.
“…. Di sudut jalan ini
Di bawah lampu merah
Bermandi peluh, membasah tubuh
Demi sekolahku….”
(Selamat Tinggal Lampu Merah – Fadly)
Ibu setengah baya di dalam mobil itu memberi selembar uang berwarna coklat. Aku tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih. Lampu telah berganti hijau dan kuseret langkahku menuju pinggiran jalan dan duduk di bawah pohon besar. Baru beberapa menit aku bernyanyi tadi, panas matahari sangat terasa menusuk kulitku. Saat ini Kota Palembang memang sedang musim panas, wajar saja matahari tidak terlalu bersahabat.
Dua jam sudah aku berjuang di antara debu dan kebisingan kendaraan. Kini kuputuskan untuk beristirahat, duduk di pinggiran toko sambil memainkan alat musik sederhana yang kubuat dari beberapa tutup botol yang direkatkan pada kayu berukuran 25 cm. Tanpa sengaja, dari kejauhan kulihat Anto sedang menghitung isi dompet yang berada di tangannya. Ah, dia kembali berhasil melakukan perbuatan jahat itu. Aku pura-pura tak melihat Anto saat ia menoleh ke arahku.
Beberapa menit kunikmati istirahatku sambil memandang ke langit nan biru. Matahari memancarkan cahaya teriknya sembari seolah tersenyum padaku. Ya, satu-satunya teman yang paling setia padaku adalah sang matahari. Ketika aku mengamen untuk mencari sesuap nasi, hanya matahari yang masih memberikan perhatiannya untukku. Merasakan panasnya juga senyumannya membuatku bersemangat. Dan dengan riang, aku pun menendangkan lagu, bernyanyi untuk matahari.
Baru saja berdendang, seketika tubuhku gemetar dan jantungku seakan meloncat keluar. Laki-laki gendut dengan kepala botak dan kumis yang cukup tebal, sedang berjalan di pinggiran toko-toko dan sebentar lagi melintas ke arah tempat diriku yang sedang duduk melepas lelah. Aku berlari kencang ke kiri dan bersembunyi di balik pagar yang menurutku aman. Aku duduk berjongkok dan membenamkan wajahku di kaki. Airmata mengalir membasahi pipiku dengan tiba-tiba tanpa kuhendaki. Dalam tangis, kembali kuteringat kejadian buruk yang membawaku menjadi seorang anak jalanan.
***
“Bu, Fania tidak mau berpisah dengan teman-teman di sini, juga berpisah dengan Ibu!” teriakku dengan airmata bercucuran.
“Fania akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada di panti ini, jika ikut bersama Bapak itu,” bujuk Bu Amira padaku sambil menunjuk ke arah laki-laki yang berkumis dan kepalanya ditutupi sebuah topi yang kebesaran.
Aku menggeleng dan langsung memeluk Bu Amira. Laki-laki yang ditunjukkan Bu Amira padaku tadi bernama Pak Arman. Dia hendak mengadopsiku menjadi anaknya. Dengan lembut Pak Arman berkata padaku, “Tenang saja, Bapak akan membiayai semua kebutuhan Fania. Bapak akan menyekolahkan Fania di SMP yang terbaik di Palembang,”
Setengah jam kemudian, aku sudah berdiri di dekat pintu mobil Pak Arman. Teman-teman dan para pengurus panti memandangku dengan wajah sedih karena sebentar lagi kami akan berpisah. Bu Amira tersenyum padaku namun tangis sedihnya tak dapat ia sembunyikan. Di Panti Asuhan Suara Hati ini, aku adalah anak kesayangan Bu Amira. Aku tahu ia sangat berat melepasku, namun demi kebaikanku dia merelakan diriku untuk diadopsi Pak Arman.
Mobil melaju dari Kota Kayuagung ke Kota Palembang dengan cukup cepat. Selama di perjalanan aku tertidur dan saat terbangun kami sudah sampai. Aku turun dari mobil dengan menggandeng tas biru berisi sedikit pakaianku. Tadi Pak Arman bilang tak perlu membawa banyak-banyak pakaian karena ia akan membelikan pakaian baru untukku.
Di hadapanku kini berdiri sebuah rumah kecil nan kumuh, berdinding kayu dan berlantai semen. Rumah sederhana itu tak seperti di panti dan sangat jauh dari kesan bersih apalagi indah, Dalam hati aku bertanya-tanya, kenapa aku malah di bawah ke sini. Kulihat Pak Arman memberikan beberapa lembar uang pada sopir mobil yang membawa kami tadi. Setelah menerima uang dari Pak Arman, sopir itu langsung membawa mobil, pergi entah ke mana.
“Ayo, masuk!” kata Pak Arman padaku yang hanya terpaku keheranan.
“Iya, Pak.” jawabku sembari menganggukkan kepala.
Lagi-lagi aku keheranan. Ternyata ada beberapa anak di dalam rumah ini yang sedang duduk berkeliling membentuk lingkaran. Mereka masih kecil-kecil dan ada dua orang yang sepertinya seusia denganku. Aku disuruh duduk di sebelah anak laki-laki berambut ikal dan berkulit hitam. Rata-rata semua anak di sini memang berkulit hitam dan dekil.
“Perkenalkan teman baru kalian! Namanya Fania berusia 15 tahun. Ia baru saja tamat SMP dan berencana akan melanjutkan ke SMA. Lucu sekali, bukan? Hahaha…!” suara Pak Arman yang tertawa membahana, terdengar bergema di dalam rumah kecil yang amat kotor ini.
Aku tersenyum pada sebelas anak yang memandangku dengan wajah sedih. Aku kebingungan dengan sikap mereka. Pak Arman keluar rumah setelah menyuruhku berganti pakaian yang diberikannya. Pakaian yang bau dan kotor.
“Kamu akan menyesal karena sudah ditipu lelaki brengsek itu. Ayo, cepatlah berganti pakaian! Kita harus bekerja!” ujar anak perempuan yang seusia denganku.
Dan di sinilah semua penderitaan menderaku. Ternyata aku diadopsi bukan untuk dirawat dengan baik. Akan tetapi, aku dijadikan sebagai budak pencari nafkah untuk Pak Arman. Aku harus mengamen, mengemis, bahkan bila perlu menjadi seorang pencopet. “Asalkan dapat uang, semua cara harus dilakukan!” kata Pak Arman dengan keras.
“Jangan hanya menangis! Tak perlu lagi menyesal karena kamu sudah jauh dari panti. Sekarang cepat cari uang atau aku tak akan memberimu makan!” Pak Arman berteriak penuh emosi setiap kali aku hanya berdiri mematung di pinggiran jalan, dekat lampu merah Simpang Jakabaring.
Setelah dua minggu hidup bersama teman-teman baruku dan Pak Arman, aku mulai terbiasa walau Pak Arman berkali-kali memarahiku dengan kata-kata kasarnya. Bahkan Pak Arman beberapa kali memukul tubuhku hingga meninggalkan bekas luka. Namun aku tetap bersyukur pada Tuhan yang masih memberikan kesempatan hidup untukku.
Kini, aku bukan lagi anak yang bersih dan sehat, aku sudah menjadi dekil dan kurus seperti mereka, anak-anak malang yang nasibnya sama sepertiku saat ini. Ternyata Pak Arman sudah berkali-kali melakukan penipuan dengan berpura-pura akan menjadi orangtua asuh, tapi nyatanya malah menjadikan anak yang diadopsinya sebagai budak pencari nafkah demi kepentingan pribadinya dan kelakuan buruknya. Pak Arman adalah seorang penjudi, pemabuk dan seorang pencopet yang pernah masuk penjara. Tapi dirinya tak pernah sadar dari perbuatannya
“Fania, sebenarnya kami sangat kasihan padamu. Kami selalu berdoa agar tak ada lagi anak malang yang dibawa Pak Arman ke sini. Tapi ternyata Pak Arman masih saja melakukan perbuatan jahatnya. Kamu harus berhati-hati pada Pak Arman, jangan sampai mengalami hal buruk seperti yang terjadi pada kami!” ujar Septi sungguh-sungguh di tengah malam saat aku belum bisa tidur.
“Memangnya hal buruk apa itu, Sep?” tanyaku dengan bingung sambil memandang lekat pada wajah Septi.
“Aku tak bisa mengatakannya, Fan.” jawab Septi yang kemudian mulai memejamkan matanya.
Aku dan teman-temanku selalu tidur di lantai yang dingin karena tak memiliki alas apa-apa. Sedangkan Pak Arman sudah terlelap di kamarnya yang memiliki kasur dan selimut. Ah, beginilah nasibku sekarang. Mau tidak mau, aku harus menjalani sulitnya hidup dalam kekangan lelaki jahat yang tak memiliki belas kasihan pada anak-anak seperti kami.
Hari ini, di bawah langit siang dengan cahaya matahari yang terasa sangat menyengat kulit, aku mendendangkan lagu yang kupelajari dari Septi. Lagu yang menjadi favoritku itu kunyanyikan dengan senang hati untuk mencari recehan dari tangan-tangan orang yang kasihan melihatku.
Jika aku menyanyikan lagu ini di saat matahari bersinar terik, aku seakan bisa melihat senyuman matahari di atas langit sana. Di sudut lampu merah adalah tempat keseharianku mengais uang sedikit demi sedikit. Pekerjaanku hanyalah mengamen, karena menurutku mengamen adalah satu-satunya pekerjaan terbaik yang ditawarkan Pak Arman padaku daripada mengemis atau mencopet.
Aku pulang ketika langit sudah sangat gelap dan kendaraan sudah mulai sedikit berlalu lalang. Jika pulang, kami belum diperbolehkan tidur oleh Pak Arman sebelum dia pulang ke rumah. Pak Arman pulang ke rumah di atas pukul satu malam. Jadi kami hanya memiliki waktu kurang lebih selama empat jam untuk tidur, karena pukul lima pagi kami sudah harus berada di jalanan untuk bekerja.
Pak Arman masuk dengan mendobrak pintu dengan sangat keras. Kami yang sedang berguling-guling langsung bangun karena terkejut. “Hey, kamu ke kamar sekarang!” perintah Pak Arman beringas sambil menunjuk ke arahku
Segera kuikuti Pak Arman menuju kamarnya. Tangan Septi sempat menarik tanganku untuk mencegah namun segera kulepaskan karena takut akan kemarahan Pak Arman jika aku terlambat sedikit saja menuruti perintahnya.
Aku ditarik dengan kasar dan direbahkan di atas kasur usang tanpa seprai. Aku kebingungan atas perbuatan Pak Arman. Kupandangi wajahnya yang hitam dan kotor. Kepalanya yang botak makin menambah keburukan di wajahnya.
Airmataku jatuh perlahan saat Pak Arman membuka celananya dengan tergesa dan memdekatiku. Ia menyibakkan rok yang kupakai.
“Jangan, Pak!” jeritku histeris sembari berusaha melepaskan diri dari dekapan Pak Arman yang sangat kuat.
“Diam!” perintah Pak Arman. Ia menciumi tubuhku dengan kesetanan.
Aku menangis dan merintih ketakutan atas perbuatan bejat Pak Arman. Dengan penuh kesadaran, aku menendang tepat pada selangkangannya dan berhasil. Pak Arman melepaskanku dan terduduk sambil merintih karena merasakan sakit akibat tendanganku. Aku segera keluar dari kamar. Teman-teman memandang iba padaku. Aku mengambil tas yang berisi pakaianku dan segera melarikan diri dari rumah ini.
***
Kuusap airmata yang terus berjatuhan dengan derasnya membasahi kedua belah pipiku. Napasku tak teratur karena begitu takutnya melihat Pak Arman tadi. Aku keluar dari persembunyian dan mengamati jalanan untuk memastikan laki-laki botak yang tadi kulihat sudah tak ada di sini. Aku menarik napas lega dan menuju ke tengah jalan untuk mengamen lagi.
Masih jelas terbayang kejadian pahit yang kualami seminggu yang lalu saat masih di rumah Pak Arman. Aku sangat berharap tidak akan bertemu lagi dengan lelaki bejat itu. Aku sudah cukup puas hidup di jalanan sekarang, walau tanpa rumah aku bisa bebas dari kekejaman Pak Arman.
Namun harapanku sepertinya tak dikabulkan, karena Pak Arman turun dari bus kota tepat di sampingku yang sedang bernyanyi. Dia mencengkeram tubuhku dan menusukkan pisau tajam ke bagian dadaku. Seketika darah mengucur deras dan aku terjatuh ke jalanan. Masih sempat kulihat Pak Arman melarikan diri karena beberapa orang berteriak ngeri melihat darah yang keluar dari tubuhku. Setelah itu, aku tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Tubuhku terasa ringan dan melayang. Aku mulai sadar jika aku tak mampu lagi menikmati kehidupan. Nyawaku harus berakhir di sudut lampu merah ini, di bawah guyuran air hujan yang deras dan dingin. “Matahari, maafkan aku karena tak bisa lagi menyanyikan sebuah lagu untukmu. Selamat tinggal!” kataku berbisik di antara napas terakhir.
SELESAI


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun