Pernahkah kita berpikir, mengapa seseorang yang seharusnya dimuliakan justru dijadikan bahan olok-olok di layar kaca? Di tengah derasnya arus digital, media sering kali lupa bahwa kata-kata yang mereka tayangkan bukan sekadar kalimat, tetapi cermin moral publik. Baru-baru ini, tayangan Trans7 memantik gelombang kekecewaan setelah menayangkan narasi yang dianggap melecehkan ulama sepuh Pondok Pesantren Lirboyo, KH. Anwar Manshur. Potongan video yang menyinggung kehidupan santri, seperti ucapan "santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?", mungkin dimaksudkan sebagai hiburan ringan, namun justru menjadi simbol dari krisis etika jurnalistik di negeri ini.
Masalahnya bukan sekadar satu tayangan. Ia mencerminkan sesuatu yang lebih dalam: cara pandang sebagian media terhadap pesantren dan ulama yang kerap direduksi hanya menjadi bahan tontonan. Dalam masyarakat yang berakar pada tradisi Islam dan adab keilmuan, tindakan ini tentu bukan hal sepele. Banyak pihak, termasuk LBH Ansor Kota Kediri, menilai Trans7 telah melanggar prinsip dasar penghormatan dan tanggung jawab sosial media. Muncullah gelombang protes dengan tagar #BoikotTrans7, bukan karena kebencian, melainkan karena luka moral yang dirasakan jutaan santri dan alumni pesantren di seluruh Indonesia.
Secara logika sederhana, ada tiga hal yang bisa kita renungkan dari kasus ini.
Pertama, media telah gagal menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Dalam Islam, akal adalah anugerah untuk menimbang benar dan salah. Allah berfirman, "Afala ta'qilun?" --- tidakkah kalian menggunakan akal? Ketika media lebih memilih sensasi daripada kebenaran, maka ia sedang menanggalkan fungsi akalnya sendiri. Etika jurnalistik bukan sekadar formalitas hukum, tetapi wujud nyata dari penggunaan akal sehat dan nurani dalam setiap berita yang disiarkan.
Kedua, Trans7 tampak mengaburkan batas antara kritik dan penghinaan. Kritik seharusnya membangun, sedangkan penghinaan merendahkan. Tayangan yang menggambarkan kehidupan santri sebagai sesuatu yang lucu atau kuno jelas tidak sedang mengkritik sistem pendidikan pesantren, melainkan menertawakan nilai-nilai kesederhanaan dan penghormatan yang justru menjadi inti ajaran Islam. Ini seperti seseorang yang tidak memahami makna sujud, lalu menertawakan orang yang bersujud --- padahal ia sedang menertawakan simbol ketundukan kepada Tuhan.
Ketiga, kasus ini memperlihatkan betapa dangkalnya pemahaman sebagian kalangan terhadap pesantren. Padahal, pesantren telah melahirkan ulama, negarawan, dan intelektual yang membentuk fondasi bangsa ini. KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahid Hasyim, hingga KH. Abdurrahman Wahid adalah contoh nyata bagaimana pesantren menjadi pusat peradaban, bukan ruang keterbelakangan. Maka, ketika pesantren direduksi menjadi bahan candaan, sesungguhnya yang dilecehkan bukan hanya para santri, tetapi juga akar spiritual bangsa Indonesia sendiri.
Bila ditinjau dari perspektif moral, tuntutan masyarakat pesantren terhadap Trans7 sepenuhnya wajar. Ada empat langkah etis yang semestinya ditempuh. Pertama, permohonan maaf terbuka, bukan sekadar untuk menenangkan publik, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab moral. Kedua, klarifikasi yang mendidik, agar masyarakat memahami makna pesantren secara utuh. Ketiga, evaluasi internal terhadap tim redaksi, karena kesalahan publikasi adalah refleksi dari krisis nilai di balik meja redaksi. Keempat, komitmen untuk memulihkan etika publik, sebab kebebasan tanpa moral hanyalah bentuk baru dari anarki informasi.
Humor memang bagian dari budaya manusia, tetapi tidak semua yang lucu pantas disiarkan. Dalam Islam, Rasulullah bersabda, "Celakalah orang yang berbicara dan berdusta hanya untuk membuat orang lain tertawa." (HR. Abu Dawud). Hadis ini mengingatkan bahwa dalam komunikasi publik, niat dan cara sama pentingnya. Sebuah tayangan bisa menghibur tanpa menghina, bisa kritis tanpa menjatuhkan. Sayangnya, Trans7 kali ini gagal menjaga keseimbangan itu.
Kini, publik telah berbicara. Tagar #BoikotTrans7 bukan sekadar ekspresi amarah, tetapi panggilan untuk mengembalikan akal sehat dan adab dalam ruang publik. Santri tidak anti kritik, namun mereka menolak dilecehkan. Kiai tidak menuntut disembah, hanya ingin dihormati sebagaimana kita menghormati ilmu dan kebijaksanaan. Pesantren tidak butuh pembelaan besar, sebab cahaya ilmu mereka cukup terang untuk menembus kabut kebodohan. Tetapi ketika nilai-nilai luhur itu direndahkan, maka diam bukan lagi pilihan.
Pada akhirnya, kasus ini mengajarkan satu hal penting: bahwa media, seperti halnya manusia, hanya akan bermartabat jika ia memiliki rasa hormat. Sebab kebenaran tidak butuh panggung, dan kehormatan tidak pernah lahir dari penghinaan. Jika Trans7 ingin kembali dipercaya publik, maka yang perlu mereka pulihkan bukan hanya reputasi, melainkan nurani.
Martabat kiai adalah kehormatan umat. Kiai tidak meminta disembah, tetapi dihormati sebagaimana kita menghormati orang tua, ilmu, dan agama. Ketika media berani melecehkan simbol suci pesantren, sesungguhnya yang mereka cederai bukan hanya sosok, melainkan nilai dan peradaban yang telah membentuk jati diri bangsa ini. Karena itu, seruan boikot terhadap Trans7 bukanlah luapan emosi semata, melainkan bentuk tanggung jawab moral untuk menjaga marwah ulama dan menjaga keseimbangan nurani publik yang mulai terkikis oleh sensasi.