Pendahuluan
Perkembangan ekonomi global yang semakin kompleks telah menimbulkan berbagai diskursus tentang sistem ekonomi yang paling mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan. Sistem kapitalis dan sosialis yang pernah mendominasi sejarah modern dinilai tidak sepenuhnya berhasil menjawab persoalan kesenjangan, eksploitasi, dan krisis multidimensi (Chapra, 2001). Dalam konteks inilah muncul gagasan untuk membangun sebuah disiplin ilmu dan praktik ekonomi yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Namun, seiring perkembangan gagasan tersebut, muncullah perdebatan nomenklatur: apakah istilah yang tepat adalah Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariah. Perdebatan ini tidak hanya menyangkut semantik, tetapi juga menyentuh aspek epistemologi dan arah pengembangan disiplin ilmunya.
Kebingungan masyarakat mengenai istilah ini semakin nyata ketika membaca literatur akademik dan dokumen kebijakan yang menggunakan istilah berbeda. Literatur Arab dan Inggris cenderung konsisten menggunakan istilah Islamic Economics atau al-iqtiṣād al-islāmī untuk menyebut disiplin ilmu. Sebaliknya, di Indonesia, istilah yang dominan dalam kebijakan pemerintah, seperti pada Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019–2024, adalah “Ekonomi Syariah” (KNEKS, 2019). Akibatnya, masyarakat sering kali menganggap kedua istilah itu sinonim, padahal masing-masing memiliki konteks penggunaan yang berbeda. Situasi ini menimbulkan kebutuhan mendesak untuk memberikan penjelasan yang lebih sistematis.
Pembedaan istilah “Ekonomi Islam” dan “Ekonomi Syariah” penting karena berimplikasi pada ranah akademik, kebijakan, maupun industri. Ekonomi Islam secara umum dipahami sebagai disiplin ilmu yang membahas teori, konsep, dan metodologi ekonomi berdasarkan nilai Islam (Chaudhry, 1999). Sementara itu, Ekonomi Syariah lebih banyak merujuk pada praktik implementasi, khususnya dalam sektor keuangan, industri halal, dan regulasi berbasis syariah (OJK, 2020). Jika tidak dibedakan secara jelas, masyarakat berpotensi terjebak dalam penyederhanaan makna yang merugikan perkembangan ilmu maupun praktiknya. Oleh karena itu, penjelasan komprehensif mengenai nomenklatur ini menjadi sangat krusial.
Analisis Etimologi dan Terminologi
Pembahasan mengenai nomenklatur “Ekonomi Islam” dan “Ekonomi Syariah” perlu diawali dengan kajian etimologis dan terminologis atas masing-masing kata yang membentuk istilah tersebut. Kajian etimologi penting untuk menyingkap akar kata, sedangkan kajian terminologi menegaskan pemaknaan yang berkembang dalam disiplin ilmu. Dengan demikian, kita dapat memahami bagaimana kata-kata tersebut membentuk istilah yang kemudian digunakan secara luas di literatur dan kebijakan. Hal ini sejalan dengan pandangan filsafat bahasa bahwa setiap istilah ilmiah harus berangkat dari pemahaman yang tepat atas akar bahasanya (Keraf, 2009).
Pertama, kata ekonomi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekonomi adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang serta kekayaan (KBBI, 2021). Secara etimologis, istilah ini berasal dari bahasa Yunani oikonomía yang merupakan gabungan dari oikos (rumah tangga) dan nomos (aturan) (Oxford English Dictionary, 2020). Dalam bahasa Arab modern, ekonomi diterjemahkan menjadi al-iqtiṣād (الاقتصاد) yang berakar dari kata ق – ص – د yang berarti “pertengahan” atau “sikap moderat” (Lisān al-‘Arab, Ibn Manzhur). Pemilihan kata ini bukan kebetulan, karena dalam Al-Qur’an pun terdapat istilah iqtiṣād yang bermakna moderasi dan keseimbangan (QS. Luqman: 19). Dengan demikian, secara bahasa, ekonomi dalam Islam sejak awal mengandung makna keseimbangan dan keadilan.
Kedua, kata Islam. Dalam KBBI, Islam diartikan sebagai agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis, dan mengajarkan prinsip ketundukan serta keselamatan (KBBI, 2021). Secara etimologis, Islam berasal dari bahasa Arab al-islām (الإسلام), bentuk masdar dari kata kerja aslama (أسلم) yang berarti “berserah diri, tunduk, atau patuh” (Lane’s Arabic-English Lexicon). Akar katanya, س – ل – م, memiliki keterkaitan dengan kata salām (سلام) yang berarti damai dan keselamatan (Wehr, 1979). Dengan demikian, Islam tidak hanya menunjuk pada sebuah agama, melainkan juga pada sebuah sikap hidup yang penuh ketundukan dan kedamaian, termasuk dalam aktivitas ekonomi.
Ketiga, kata syariah. Menurut KBBI, syariah adalah hukum agama yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, terutama menyangkut hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia, maupun lingkungan (KBBI, 2021). Dalam bahasa Arab, kata syarī‘ah (الشريعة) berarti “jalan menuju sumber air”, yang kemudian dimaknai sebagai “jalan hidup yang lurus” atau aturan yang ditetapkan Allah (Lisān al-‘Arab, Ibn Manzhur). Hans Wehr (1979) dalam Dictionary of Modern Written Arabic juga mencatat bahwa syariah merujuk pada “divine law” atau hukum ilahi. Dengan demikian, syariah mencakup seperangkat norma, baik dalam ranah ibadah maupun muamalah, yang mengikat seluruh aspek kehidupan termasuk ekonomi.
Keempat, dalam bentuk gabungan istilah, muncul dua nomenklatur: Ekonomi Islam dan Ekonomi Syariah. Ekonomi Islam (al-iqtiṣād al-islāmī) biasanya digunakan dalam literatur akademik untuk menegaskan sebuah disiplin ilmu yang mengkaji perilaku ekonomi dengan panduan ajaran Islam (Khan, 1994). Sedangkan Ekonomi Syariah lebih sering dipakai dalam konteks kebijakan dan industri di Indonesia, sebagaimana terlihat dalam dokumen Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024 yang menggunakan istilah tersebut sebagai payung kebijakan nasional (KNEKS, 2019). Dengan demikian, secara terminologis, perbedaan pemakaian istilah ini lebih pada konteks penggunaannya, bukan pada substansi nilainya, karena keduanya sama-sama berpijak pada prinsip syariah Islam.