Mohon tunggu...
Ratna Hermawati
Ratna Hermawati Mohon Tunggu... -

S-3 (Sangat Suka Sekolah)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

(Berani) Bercita-cita

10 Oktober 2010   17:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:32 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tidak pernah saya sangka punya cita-cita adalah hal yang sangat rumit. Maksudnya, saya terbiasa punya cita-cita. Waktu kecil saya bercita-cita jadi asstronot, teruuuussss.... sampai SMU kelas 1. Lalu beralih ingin jadi arkeolog, peneliti, ahli fisika. Namun nasib membawa saya ke fakultas kedokteran, suatu hal yang tidak pernah jadi cita-cita saya sama sekali. Setelah sempat luntang-lantung selama enam tahun, berpikir bahwa saya sedang membuang waktu dengan masuk di jurusan yang tidak saya senangi, tepat sebulan sebelum pendidikan selesai saya menemukan cita-cita baru : menjadi Intensivist!

Kemudian saya menikah, dan diterima sebagai CPNS. Saya ditugaskan sebagai Kepala Puskesmas di sebuah kecamatan, lengkap dengan rumah dinas yang baru dibangun tapi sangat sedikit harapan untuk bisa sekolah lagi. Rasanya menjadi Intensivist hanya mimpi saja. Tapi saya berkeyakinan mimpi itu harus tetap saya pegang dan didoakan. Hanya Tuhan dan saya yang bisa mengubah mimpi itu jadi kenyataan. Setelah melalui proses birokrasi yang rumit, berkejaran dengan waktu dan banyak makan hati, akhirnya saya bisa melanjutkan pendidikan di Dept. Anestesiologi dan Reanimasi Unair Surabaya. Satu langkah awal untuk menjadi seorang intensivist.

Cita-cita saya (sementara) sudah tercapai. Kalau saya tidak neko-neko Insya Allah saya bisa lulus dalam 4-5 tahun ke depan. Pulang ke daerah dan mengembangkan anestesi-reanimasi di sana. 2-3 tahun kemudian melanjutkan pendidikan untuk mengambil konsultan Intensive Care. Rencana menjadi seorang Intensivist sudah membentang di depan mata, tinggal dijalani. Tapi kenapa semuanya mendadak hambar, dan saya jadi malas belajar?

Lalu saya sadar, saya kehilangan pendorong semangat. Segala yang bisa diduga terasa tidak ada tantangannya. Adakah ada hal lain yang bisa membangunkan saya lagi?

Saya ingat, punya cita-cita lain yang selama ini saya kubur dalam-dalam karena saya merasa mustahil mendapatkannya.  Saya ingin sekolah di Eropa. Ya. Eropa. Berjalan melewati bangunan berasitektur khas ketika menuju kampus. Belajar di outdoor cafe. Membaca buku di bench taman ditemani oleh puluhan orang lain yang melakukan hal yang sama. Menyentuh salju (hahahaha... ndesiiiitt...). Melihat gemerlap lampu kota saat mereka merayakan Natal. Merasakan naik trem. Pergi melihat tulip di Keukenhof !  Dan saya tidak ingin melewatkan semua itu dalam waktu liburan seminggu-dua minggu. Saya ingin hidup di sana. Merasakan nafas kehidupan mereka. Menjadi bagian dari kehidupan Eropa. Semua yang selama ini hanya bisa saya lihat dengan mupeng lewat jendela laptop atau ponsel, begitu inginnya saya merasakan dengan nyata. Saya, dengan gembira menyadari akhirnya saya punya gairah hidup baru. Saya harus bisa kuliah di Eropa !

Bersamaan dengan keberanian saya mengakuinya, mulailah bermunculan cita-cita lain. Ingin naik haji. Ingin mempunyai set perhiasan berlian. Ingin membangun rumah. Punya mobil dengan tenaga surya. Semua itu butuh usaha, dan manajemen waktu, tenaga, biaya. Saya tidak bisa lagi membuta bahwa yang saya butuhkan cuma belajar. Lain-lain akan mengikuti. Kita tidak bisa membangun rumah hanya berbekal batu bata kan? Saya harus mulai membagi waktu secara profesional, efektif, dan terarah. Harus berani menentukan target.

Sekarang, saya kembali bisa bermimpi dan membicarakannya dengan Tuhan. Saya kembali bahagia. Tulisan ini menjadi deklarasi saya. Saya paham, penghambat terbesar adalah rasa takut. Takut gagal, takut dimarahi, takut ditertawai, takut bermimpi. Padahal Tuhan telah membuka seluas-luasnya lapangan rizqi untuk kita. Tinggal saya yang menentukan, berapa besar rizqi yang ingin saya peroleh?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun