Mohon tunggu...
AA AMARUDIN MUMTAZ
AA AMARUDIN MUMTAZ Mohon Tunggu... -

CEO JOMBANG CENTER OF ARABIC LEARNING STUDIES

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mensyariahkan Bisnis Kuliner (studi kasus konsep ideal dan alternatif permodalannya)

16 Juni 2015   03:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:01 2574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sesungguhnya inti masalah kasus ini adalah “modal yang terkait dengan riba”, karena sebagaimana yang sudah berlaku dalam hukum fikih, menarik manfaat dari sebuah hutang masuk dalam kategori riba. Dengan kata lain saat sang rentenir menarik kelebihan uang sebagai keuntungan pribadi sekaligus balas jasa hutang yang ia pinjamkan kepada nenek penjual itu, ini termasuk dalam kategori riba yang dilarang oleh semua agama.

 

Kasus Ketiga

Di tempat lain yang jumlahnya tidak sedikit -untuk contoh bisnis kuliner yang kurang memenuhi nilai-nilai syariah- ada saja restoran, cafe, maupun warung makan, yang tidak mencantumkan harga menu, sehingga pelanggan merasa terhenyak saat membayar harga yang ternyata jauh dari perkiraannya berdasarkan harga umum makanan tersebut di daerah itu. Dalam hal ini memang kesalahan bukan sepenuhnya pada penjual, hendaknya pembeli bertanya dulu berapa harga makanan di tempat kuliner itu.

 

Menurut perspektif hukum syariah, restoran termaksud tersebut memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, apalagi jika tidak adanya pencantuman harga menu sudah menjadi adat kebiasaan setempat. Namun secara etika, penjual sudah melanggar asas transparansi dalam jual-beli.

 

Prof. Dr. Syamsul Anwar. MA, berpendapat bahwa daftar harga dalam jual-beli merupakan bentuk dari ijab qabul secara tertulis, sehingga jika dalam sebuah menu atau produk tidak mencantumkan harga, maka tidak memenuhi ijab qabul yang termasuk kriteria keabsahan jual-beli. Kecuali jika ada ijab qabul secara lisan sebagai bentuk kerelaan kedua belah pihak, maka menjadi diperbolehkan. Terkait dengan masalah ini Imam Syafi'i tidak memperbolehkan jual-beli yang tidak transparan. Karena pada dasarnya prinsip jual-beli yang syar'i itu harus ada saling rela di antara kedua belah pihak dan salah satu pihak tidak boleh merugikan pihak lain.

 

Kasus Keempat

Fenomena kuliner non syar'i lain juga dapat kita temukan di kebanyakan destinasi kuliner yang tidak menyediakan tempat khusus untuk merokok. Ketidak-syar’ia-nya terletak pada asap dan bau rokok yang mengganggu pelanggan lain yang tidak merokok. Meskipun keharaman rokok masih diperselisihkan namun secara kesehatan rokok itu jelas-jelas membahayakan baik bagi perokoknya maupun orang di sekitarnya. Hal Ini bertentangan dengan prinsip "la dharara wala dhirara"- tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun