Siang mulai terik, mobil melaju ke utara meninggalkan museum nasional dibawah naungan payung pepohonan rimbun pinggiran taman monas. Menuju museum Fatahillah atau sekarang bernama museum sejarah Jakarta di kota tua.
Gedung megah berpelataran alun alun gaya neo klasik itu mulai dibangun tahun 1707 selesai tahun 1712. Diperuntukkan sebagai Stadhuis atau balaikota ke 3 yang ada di Batavia. Stadhuis pertama dibangun di kawasan Kali Besar, hancur saat terjadi penyerbuan pasukan Mataram pemerintahan Sultan Agung pada tahun 1600 an. Stadhuis kedua tak jauh dari gedung ketiga. Gedung balaikota kedua merosot miring, karena permukaan tanahnya turun terembes air.
Stadhuis ke 3 lestari hingga kini. Telah diubah fungsinya menjadi museum Fatahillah sejak tahun 1974. Sebagai penghormatan kepada pangeran Fatahillah pendiri kota Jayakarta. Kini namanya berubah menjadi Museum sejarah Jakarta. Gedung ini adalah salah satu ikon kota tua paling menonjol, kawasan yang banyak berdiri kolonial building heritage di Jakarta.
Hari ini museum sudah dibuka untuk umum, tetapi alun alun belum diperbolehkan untuk aktivitas. Jadi sepeda ontel tua perangkat paling ikonik berhias warna warni yang biasa disewakan dan berseliweran disini belum kelihatan. Menunggu pandemi korona benar benar reda.
Melihat gedung stadhuis ini dan struktur lingkungannya seolah merupakan replika istana ratu Netherland yang ada di dam square kota Amsterdam Belanda. Struktur bangunannya, menara, halaman, juga bangunan bangunan di sekitarnya. Konon jaman dulu kala, ramai pula trem trem berseliweran di kawasan museum Fatahillah sebagaimana aktivitas trem untuk angkutan umum di dam square Amsterdam sampai saat ini.
Masuk museum dari pintu samping, langsung bertemu ruangan pangeran Diponegoro. Ruang dimana pemimpin perang gerilya Yogya dan sekitarnya itu dikurung selama 28 hari sebelum diasingkan ke Manado. Dan terakhir dipindahkan ke Makassar sampai beliau wafat tahun 1855 sebagai tawanan di penjara benteng Rotterdam di pantai Losari.
Raden Saleh pelukis besar Nusantara kelahiran Semarang yang kala itu tinggal di Belanda mengabadikan penangkapan Diponegoro itu dalam master piece lukisannya.
Lukisan itu konon dibuat sekitar tahun 1835, berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Sebagai tanggapan atau versi lain dari lukisan atas peristiwa yang sama yang dibuat pelukis Belanda, berjudul Penyerahan Diri Pangeran Diponegoro. Dua lukisan dari kisah yang sama dengan judul, spirit dan pengungkapan bertolak belakang. Penyerahan diri dan Penangkapan tentu mengungkap semangat cerita berbeda.
Di ruangan Diponegoro terdapat amben atau ranjang peninggalan tempat beliau tidur selama 28 hari. Juga lukisan sang pangeran yang tinggi besar berkumis tipis, bersurjan, blankon dan berjarik. Ruangan di lantai dua yang hening berlantai kayu, berjendela gaya kolonial menghadap pelataran mencekam. Mencoba meresapi suasana hati sang tawanan pemberontak yang akan segera diasingkan di Sulawesi, pulau nan jauh. Yang nampak hanya warna pekat, tak mampu menghayatinya.