Mohon tunggu...
mulyanto
mulyanto Mohon Tunggu... Administrasi - belajar sepanjang hayat

Saya anak petani dan saya bangga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Mas... Bangun, Mas!"

19 April 2018   07:22 Diperbarui: 19 April 2018   08:31 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mas... Bangun, Mas!" Aku membungkukkan badanku, kupegang dua bahunya dengan sedikit menggoncangnya di atas ranjang beroda di lorong panjang sebuah rumah sakit di suatu sore. Dia biasa begini. Matanya terpejam, mulutnya pasi menahan getir sebelum menjalani cuci darah. 

Ritual Selasa Kamis ini adalah santapan wajib Mas Lan (Fulan nama suamiku) sebelum minum teh racikanku di sore hari sambil menatap awan jingga yang indah.

Itulah ritual Mas Lan hingga hari ini sejak dua tahun silam. "Mas, tolong jangan becanda, Mas." Kataku dengan kalut makin mengubun-ubun. "Sayang, bangun." Pintaku lagi. Kuucapkan di dekat daun telinga kanannya setengah berbisik. Aku makin tak keruan. Mas Lan apakah sudah diambilNya? Hatiku panas sesak dan rasa tak nyaman kini menguasai tubuhku.

"Bbha...ha...ha...ha..." mulut manisnya terbahak dengan mata menyala. Mas Fulan mengerjaiku.

"Mesti sampean iki, Mas." Responsku sewot.

"Aku loh pawatan, Dik Ani (Fulani namaku). Sampean khawatir ya?" Tanyanya menyeringai. Tangan kanannya meraih daguku yang berdiri di samping kanan ranjangnya.

"Nggak," jawabku ketus lalu melengos tak menatapnya.

"Nggak mungkin sampean nggak khawatir, wong wes kelihatan nek khawatir." Ucapnya dengan agak memaksa diri dalam keadaan agak lunglai. 

"Berarti pean sayang yo nang aku." Imbuhnya. Ada nada bahagia dalam nada suara terakhirnya itu. Aku mesem memndangnya.

"Iya mas, aku tidak ingin kehilangan sampean," kataku iba dalam hati. Aku mengatupkan rahangku menahan getir. Kurasa ada danau besar di pelupuk mataku yang siap meluber.

"Aku nggak apa-apa, Dik. Bismillah kita akan hidup bahagia." Tangannya menghapus aliran bulir air di pipiku yang menetes dari manik mataku. Dia selalu bersemangat. Tapi aku yang rapuh. Sejak pengantin baru Allah hadiahi Mas Lan dengan derita berkepanjangan ini. Kasihan aku. Kasihan semua orang yang mengasihani kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun