Mohon tunggu...
Mulyadi SH MH
Mulyadi SH MH Mohon Tunggu... Penulis

Dengan menulis pemikiran kita dapat tersampaikan, menulis juga merupakan senjata intelektualitas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Elpiji 3 Kg Jakarta: Harga Resmi Jadi Lelucon, Subsidi Jebol untuk Tambal Ember Bocor, dan Mafia Gas Berpesta Pora

26 September 2025   19:11 Diperbarui: 26 September 2025   19:19 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi akibat HET lpg 3kg tidak kunjung di perbaharui oleh Pemda DKI Jakarta

JAKARTA -- Di atas kertas Peraturan Gubernur, harga gas elpiji 3 kg di Jakarta adalah Rp16.000. Namun di gang-gang sempit dan dapur-dapur warga miskin, harga itu hanyalah fiksi. Realitanya, mereka dipaksa membayar hingga Rp30.000 per tabung, harga "pasar gelap" yang mencekik leher.

Inilah potret nyata dari kelumpuhan kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Selama satu dekade, HET warisan tahun 2015 tak tersentuh, membeku menjadi aturan usang yang justru menciptakan monster. Atas nama melindungi rakyat dari inflasi, kebijakan ini secara ironis telah menyerahkan nasib mereka ke tangan para spekulan, penyelundup, dan sindikat kriminal.

Menambal Ember Bocor dengan Uang Negara

Logika pasar tidak bisa dibohongi. Saat Jakarta mematok harga Rp16.000, wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sudah lama menetapkan harga Rp19.000. Perbedaan Rp3.000 ini menciptakan "sungai cuan" yang mengalir deras ke luar Ibu Kota, menyedot kuota gas bersubsidi milik warga Jakarta.

Alih-alih menyembuhkan penyakit utamanya---disparitas harga---solusi yang kerap diambil saat terjadi kelangkaan adalah menambah pasokan. Pertamina digelontorkan tugas untuk membanjiri pasar dengan kuota tambahan. Namun, ini tak lebih dari upaya menambal ember bocor dengan uang negara. Masalahnya bukan kurangnya pasokan, tetapi pasokan yang bocor. Setiap tabung tambahan yang disuntikkan tetap berisiko diselundupkan selama disparitas harga dibiarkan menganga. Hasilnya? Anggaran subsidi negara terus jebol untuk solusi sementara yang tidak pernah menyelesaikan akar masalah.

Subsidi untuk Mafia, Bukan untuk Warga

Kekosongan yang ditinggalkan oleh pasokan resmi dengan cepat diisi oleh kejahatan terorganisir. Kesenjangan harga yang ekstrem antara gas subsidi dan non-subsidi adalah lahan subur bagi sindikat "gas oplosan".

Buktinya sudah gamblang. Penggerebekan oleh Bareskrim Polri pada Mei 2025 di Jakarta Timur dan Jakarta Utara membongkar praktik oplosan skala raksasa yang merugikan negara hingga belasan miliar rupiah. Ini adalah kejahatan yang lahir dari rahim kebijakan yang salah arah. Saat agen dan pangkalan resmi tercekik karena biaya operasional yang melonjak (UMP saja naik lebih dari 87% sejak 2015), para mafia justru berpesta pora atas subsidi negara.

Alasan Inflasi yang Terbantahkan

Pemprov DKI kerap berlindung di balik alasan klasik: menaikkan HET akan memicu inflasi dan menyakiti rakyat miskin. Namun, argumen ini rapuh. Kepala Dinas Energi sendiri, mengutip kajian Ditjen Migas, menyatakan dampak kenaikan HET terhadap inflasi akan "sangat kecil". Mengapa? Karena warga sudah terbiasa membayar harga yang jauh lebih tinggi di warung-warung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun