Mohon tunggu...
Mulyadi SH MH
Mulyadi SH MH Mohon Tunggu... Penulis

Dengan menulis pemikiran kita dapat tersampaikan, menulis juga merupakan senjata intelektualitas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

MBG di Persimpangan Maut: Hentikan Eksperimen Gagal, Kembalikan Dapur Ke Sekolah

23 September 2025   00:10 Diperbarui: 23 September 2025   00:10 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi MGB gagal

JAKARTA -- Di atas kertas, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah mahakarya kepedulian: janji generasi emas yang sehat dan cerdas. Namun, di lapangan, yang tersaji adalah anomali menyakitkan. Alih-alih gizi, ribuan anak justru terpapar racun. Alih-alih stimulus ekonomi, ibu-ibu kantin justru kehilangan periuk nasi. Alih-alih pemberdayaan, UMKM kecil justru terjerat utang dan birokrasi dingin.

Program MBG dalam formatnya saat ini adalah sebuah eksperimen gagal berbiaya triliunan. Kegagalannya bukan sekadar teknis, melainkan sistemik dan moral. Pertanyaannya bukan lagi "bagaimana cara menambalnya," melainkan "apakah kita punya keberanian untuk menghentikan kapal raksasa yang terus bocor ini dan merancangnya dari nol?"

Diagnosis Penyakit Kronis: Tiga Akar Masalah yang Mematikan

Mengapa program mulia ini berujung petaka? Jawabannya terletak pada tiga dosa asal dalam desainnya:

  1. Sentralisasi Buta: Model dapur raksasa terpusat (SPPG) adalah ide bagus di ruang rapat ber-AC, namun bencana di lapangan. Model ini menciptakan rantai pasok birokrasi yang panjang, dingin, dan sangat rentan. Hasilnya? Makanan basi, distribusi terlambat, dan risiko kontaminasi massal yang terbukti menjadi kenyataan pahit di berbagai daerah.
  2. Anggaran Mustahil: Mematok anggaran Rp10.000 per porsi adalah ilusi fiskal yang berbahaya. Angka ini memaksa para penyedia makanan masuk ke dalam "perlombaan menuju titik terendah"---memilih bahan baku termurah, mengabaikan standar kebersihan, dan memotong biaya operasional krusial. Tidak heran jika menu yang dihasilkan bukan hanya kurang gizi, tetapi juga beracun, seperti kasus penggunaan ayam busuk yang tragis.
  3. Membunuh Ekonomi Rakyat Kecil: Ironi terbesar MBG adalah program yang katanya pro-rakyat ini justru menjadi mesin pembunuh bagi ekosistem ekonomi sekolah. Kantin-kantin yang selama ini menjadi sumber hidup ribuan keluarga kini sepi dan terancam gulung tikar. Janji pelibatan UMKM pun hanya manis di bibir, karena skema pembayaran reimbursement (talangi dulu, tagih kemudian) adalah jebakan maut bagi pengusaha kecil bermodal pas-pasan.

Solusi Akal Sehat: Revolusi Dapur Sekolah, Bukan Proyek Mercusuar

Daripada terus menghamburkan uang pada sistem yang cacat, solusinya sebenarnya sederhana, berbasis akal sehat, dan sudah terbukti berhasil di negara-negara seperti Jepang dan Brasil:

Desentralisasi.

Lupakan megaproyek dapur terpusat. Mari kita lakukan revolusi dengan empat langkah fundamental:

  1. Kembalikan Uang dan Wewenang ke Sekolah: Hentikan model komando dari pusat. Salurkan dana langsung ke sekolah. Biarkan sekolah, komite orang tua, dan komunitas lokal yang mengelola. Siapa pengawas terbaik selain orang tua yang melihat langsung apa yang dimakan anak mereka setiap hari? Ini adalah model pengawasan organik yang memotong birokrasi dan menumbuhkan rasa memiliki.
  2. Hidupkan Kantin Sekolah dan UMKM Lokal: Jadikan ibu-ibu kantin dan UMKM katering di sekitar sekolah sebagai pilar utama, bukan korban. Dengan dana di tangan sekolah, mereka bisa langsung menjadi penyedia. Uang triliunan rupiah itu akan benar-benar berputar di tingkat akar rumput, menghidupkan ekonomi lokal, bukan mengalir ke segelintir pemain besar.
  3. Tetapkan Anggaran Realistis dan Fleksibel: Anggaran per porsi harus dinaikkan ke level ideal Rp15.000-Rp20.000, dan harus disesuaikan dengan indeks harga di setiap daerah. Harga cabai di Papua tidak sama dengan di Jawa. Keadilan anggaran adalah kunci kualitas.
  4. Ciptakan Payung Hukum Besi: Ganti Perpres dan Juknis yang rapuh dengan sebuah Undang-Undang. Aturan setingkat UU akan memberikan kepastian hukum, mendefinisikan peran semua pihak secara tegas, dan menetapkan sanksi yang jelas bagi pelanggaran, terutama yang menyangkut keamanan pangan anak-anak kita.

Pilihan ada di tangan kita: melanjutkan "teater nutrisi" yang mahal dan berbahaya ini, atau memulai revolusi gizi sejati dari halaman sekolah kita sendiri. Masa depan jutaan anak Indonesia dipertaruhkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun