JAKARTA -- Setelah mengalami sengitnya pertarungan hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pajak elpiji 3 kg, terungkap sebuah ironi tajam: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 220/PMK.03/2020, yang menjadi salah satu akar masalah, ternyata lahir dari perjuangan dan desakan asosiasi pengusaha itu sendiri, Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (HISWANA MIGAS).
Peraturan ini menjadi buah simalakama bagi industri. Di satu sisi, ia adalah kemenangan yang mereka perjuangkan untuk mendapatkan kepastian hukum. Di sisi lain, ia melegalkan pemungutan pajak yang kini telah mereka anggap inkonstitusional.
Kekacauan Sebelum PMK 220: Zona Abu-abu Hukum
Sebelum tahun 2020, para agen LPG 3 kg di seluruh Indonesia beroperasi dalam ketidakpastian hukum yang mencekik. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara masif menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) bernilai miliaran rupiah, dengan menafsirkan komponen "Biaya Transportasi"---yang ditetapkan oleh Pemda---sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Para agen, yang diwakili HISWANA MIGAS, menolak keras. Mereka berargumen bahwa memajaki komponen biaya yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah adalah tindakan sewenang-wenang dan tidak adil. Ribuan sengketa pajak pun meledak di berbagai daerah, mengancam kelangsungan usaha para agen dan stabilitas distribusi elpiji bersubsidi.
Perjuangan HISWANA MIGAS: Mendesak Negara untuk Bertindak
Menghadapi "teror" SKPKB, HISWANA MIGAS melancarkan perjuangan multi-jalur. Mereka tidak tinggal diam:
- Eskalasi Politik: Melayangkan surat keluhan langsung kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
- Tantangan Hukum: Mengajukan pertanyaan hukum formal kepada Direktur Jenderal Pajak, mempertanyakan dasar hukum pemajakan atas objek yang lahir dari keputusan administratif (beschikking), bukan undang-undang (regeling).
Desakan yang gigih ini berhasil menempatkan masalah tersebut sebagai prioritas di meja pemerintah. Industri, melalui HISWANA MIGAS, pada dasarnya berteriak meminta satu hal: kepastian hukum.
Lahirnya Sang 'Harimau': PMK 220 sebagai Jawaban
Pada 28 Desember 2020, Kementerian Keuangan akhirnya merespons dengan menerbitkan PMK 220/PMK.03/2020. Konsiderans atau bagian "Menimbang" dalam peraturan ini secara eksplisit mengakui tujuan utamanya: "untuk menjamin rasa keadilan, memberikan kepastian hukum, dan menyederhanakan mekanisme pemungutan PPN".
PMK 220 memberikan kepastian yang diminta HISWANA MIGAS dengan menciptakan formula PPN yang jelas menggunakan mekanisme "Nilai Lain". Sengketa mengenai interpretasi ambigu pun berakhir. Ini adalah kemenangan bagi perjuangan HISWANA MIGAS.