Jakarta - Umat Islam di seluruh Indonesia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW pada hari ini, Jumat, 5 September 2025. Namun, perayaan kelahiran sang suri teladan kali ini terasa berbeda. Peringatan Maulid datang di saat bangsa masih berusaha memulihkan luka dan mencari makna dari gejolak sosial hebat yang meletus pada akhir Agustus lalu. Di tengah suasana reflektif ini, satu ajaran Nabi yang seringkali terlupakan kembali mengemuka dengan relevansi yang tajam: ajaran tentang keberanian mengutarakan kritik sebagai bentuk perjuangan tertinggi.
Kerusuhan akhir Agustus, yang menelan korban jiwa dan kerugian material ditaksir triliunan rupiah, bukanlah peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Ia adalah puncak dari akumulasi kekecewaan publik yang merasa suaranya tak lagi didengar. Dipicu oleh serangkaian kebijakan yang dianggap mencederai rasa keadilan---seperti kenaikan tunjangan DPR di tengah himpitan ekonomi rakyat---gelombang protes awalnya berfokus pada tuntutan kebijakan yang substantif.
Namun, ketika aspirasi tersebut direspons dengan barikade dan gas air mata, dan puncaknya adalah tragedi tewasnya seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang terlindas kendaraan taktis aparat, arah kemarahan massa pun berubah. Protes kebijakan bermetamorofis menjadi amarah terhadap brutalitas aparat dan tuntutan keadilan.
Di sinilah momentum Maulid Nabi menawarkan cermin bagi bangsa. Jauh sebelum konsep demokrasi modern dan kebebasan berpendapat dirumuskan, Nabi Muhammad SAW telah meletakkan fondasi teologis bagi pentingnya kontrol publik terhadap kekuasaan. Dalam sebuah hadits yang sangat dikenal, Rasulullah bersabda, "Jihad yang paling utama adalah (menyampaikan) kalimat keadilan di hadapan penguasa yang zalim." (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).
Para ulama menafsirkan "jihad" dalam konteks ini bukan sebagai perjuangan fisik, melainkan sebagai perjuangan moral dan intelektual yang menuntut keberanian luar biasa. Keutamaannya terletak pada risiko besar yang dihadapi pengkritik di hadapan penguasa yang represif. Hadits ini memberikan legitimasi spiritual yang kuat bagi warga negara untuk menuntut akuntabilitas dari para pemimpinnya.
Praktik ini bahkan dicontohkan oleh para sahabat. Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Umar bin Khattab dengan rendah hati menerima koreksi terbuka dari seorang perempuan di masjid terkait kebijakannya. Ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, kritik publik yang membangun bukanlah aib, melainkan mekanisme vital untuk menjaga agar kekuasaan tetap berada di jalan yang lurus.
Sayangnya, semangat keteladanan ini seolah absen dalam respons negara terhadap gelombang protes Agustus. Alih-alih membuka ruang dialog yang substantif untuk menjawab tuntutan massa, narasi yang dibangun oleh pemerintah justru berfokus pada ancaman "huru-hara" dan "chaos" yang didalangi oleh "unsur-unsur" tertentu. Presiden Prabowo Subianto, dalam pernyataannya, memang mengajak masyarakat menyampaikan aspirasi secara damai, namun imbauan itu dibarengi dengan peringatan keras terhadap pihak yang dituding ingin mengadu domba bangsa.
Retorika ini semakin kontras dengan tindakan di lapangan. Instruksi tegas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menyatakan "haram hukumnya Mako diserang" dan memerintahkan tembakan jika massa menembus asrama, menunjukkan pendekatan keamanan yang mengedepankan represi ketimbang persuasi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah sebenarnya telah memberikan panduan yang seimbang. Keduanya mengakui demonstrasi sebagai cara penyampaian aspirasi yang sah, namun dengan syarat harus dilakukan secara damai, tertib, dan tidak anarkis. Dilemanya, ketika saluran-saluran kritik yang santun terasa tersumbat dan setiap masukan dianggap sebagai serangan, maka jalanan menjadi satu-satunya katup pelepasan yang tersisa.
Peringatan Maulid Nabi tahun ini menjadi momen introspeksi nasional. Bagi masyarakat, ini adalah pengingat untuk menyalurkan "jihad kritik" dengan cara yang beradab dan konstruktif, bertujuan untuk perbaikan (islah), bukan kerusakan (mafsadah). Namun, pelajaran yang lebih berat justru ditujukan kepada para pemegang kekuasaan. Meneladani Nabi bukan hanya tentang ritual, tetapi tentang meniru akhlaknya, termasuk kerendahan hati untuk mendengar dan keberanian untuk menerima kritik. Sebab, seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah dan dipertegas oleh tragedi Agustus lalu, suara rakyat yang dibungkam tidak akan lenyap. Ia hanya akan berubah menjadi bara yang menunggu waktu untuk meledak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI