Mohon tunggu...
eddy mulyadi
eddy mulyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen dan peneliti

Lahir di Tanjungbalai (Asahan) dan aktif mengikuti seminar dan konferensi tentang bahasa. Selain itu, rajin menulis artikel, terutama berkolaborasi dengan mahasiswa, untuk dipublikasikan di berbagai jurnal nasional dan jurnal internasional.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Indahnya Kematian Ayahku

14 April 2014   21:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13974600392115934847

Minggu dini hari itu, pada saat kebanyakan orang masih terlelap, ayah—seperti biasanya—pamit kepada ibu untuk pergi ke musala yang terletak persis di samping rumah kami. Temboknya, atas izin warga, sengaja dijebol agar ayah tak perlu berjalan memutar kalau hendak ke musala untuk salat. Usia ayah sudah 72  tahun, tetapi fisiknya tampak masih kuat.  Tidak heran, ia selalu meluangkan waktunya untuk salat berjemaah di musala itu. Ke mana-mana ia pun selalu naik sepeda motor, termasuk jika pergi ke ladang yang jaraknya ± 15 km dari rumah kami.

Setibanya di musala, ayah tak langsung masuk. Entah mengapa ia mengitari musala sambil memeriksa bola-bola lampu yang terletak di samping musala yang mungkin putus dengan cara menghidupmatikannya. Akhir-akhir ini, ayah memang menaruh perhatian yang besar terhadap barang-barang inventaris musala yang rusak atau hilang. Dua  hari sebelumnya mesin air musala raib. Padahal keberadaan mesin itu sangat berguna untuk memperlancar air musala yang sering tersendat. Setelah mendengar kabar hilangnya mesin itu, ayah berinisiatif meminta kesediaan adik untuk berinfak. Besoknya mesin air yang hilang sudah berganti dengan mesin air yang baru.

Pada minggu pagi itu ayah tampaknya menunggu kedatangan Pak Sitepu, imam musala. Di musala itu ayah hanyalah seorang imam pengganti. Maklum, faktor usia membuat bacaannya tak lagi fasih. Ditunggu beberapa menit, Pak Sitepu tak juga muncul. Ayah akhirnya memutuskan menjadi imam dengan  makmun yg berjumlah empat orang. Salat Subuh berjalan dengan lancar. Selesai salat, ia lalu memimpin doa. Saat membaca doa “Allahumma azzirni minannar”, tiba-tiba ayah jatuh terlentang dari duduknya. Para makmum terkejut dan buru-buru menolongnya. Seorang makmun lain berlari ke rumah, memanggil ibu yang pada saat yang sama sedang mengerjakan rekaat pertama salat Subuh. Karena mendengar panggilan yang tidak lazim, ibu menghentikan salatnya. Ia buru-buru membuka pintu. Di depannya berdiri seorang pria dengan wajah yang tampak pucat.

“Ada apa, Pak?”

“Bapak ... Bapak jatuh di musala, Bu,” jawabnya dengan nafas tersengal.

Betapa kagetnya ibu mendengar kabar yang disampaikannya. Ibu pun bergegas ke musala. Di dalam musala, ibu melihat ayah yang sedang menghadapi sakratul maut. Seorang pria sedang membacakan surat Yasin sambil memegangi kepala ayah. Sungguh, pada saat itu ibu ingin sekali memeluk ayah, pria yang telah puluhan tahun mendampingi hidupnya, tetapi keinginan itu ditahannya sebab ibu ingat bahwa dia belum mengerjakan salat Subuh. Ibu lalu memilih salat di samping ayah. Tak lama berselang, adik-adik berdatangan ke musala. Melihat kondisi ayah yang makin kritis, mereka berniat membawanya ke rumah sakit. Akan tetapi, seorang pria yang berasal dari Padang, yang kebetulan sedang mengunjungi keluarganya, dan ikut salat Subuh, menahan keinginan mereka. “Tak usahlah, Dik,“ pintanya, “Bapak ini .... orang kedua yang saya saksikan dalam hidup saya. Biasanya, ini tak akan lama. Lebih baik disiapkan saja rumah.”

Begitu ibu selesai salat, ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Tak ada pesan sama sekali. Ibu menangis sambil memeluk ayah. Adik-adik histeris. Jiran tetangga pun berdatangan. Akibatnya, musala menjadi gaduh. Seorang dokter umum yang tinggal tak jauh dari situ dipanggil untuk memastikan kematian ayah secara medis. Malang tak dapat ditolak. Ayah benar-benar sudah meninggal. Kepergiannya berlangsung hanya sekitar 5 menit sejak jatuhnya. Demikian cepat, dan seluruh keluarga yang hadir di musala  tidak siap dengan musibah ini. Namun, ini sudah menjadi ketentuan Allah SWT, termasuk apa yang dikerjakan ayah sebelum meninggal dunia

Menurut ibu, dua hari sebelum wafat, ayah memangkas rambutnya dan menggunting kukunya. Walaupun agak heran, ibu tidak bertanya sama sekali. Ayah juga tampak lebih pendiam. Biasanya, ayah banyak berbicara dan setiap ada kesempatan ia sering menasihati adik-adik. Kesan lebih pendiamnya juga terlihat pada malam menjelang kematiannya. Pada malam itu, ayah dan ibu mengantar besannya ke Kisaran (Asahan) dan di dalam mobil ayah hanya mendengarkan ibu dan adik-adik bercerita. Begitu pula, ketika kami datang untuk menghadiri acara syukuran, yaitu dua minggu sebelum  dia meninggal, ayah terkesan pelit bicara.  Momen yang sulit kulupakan ialah saat ia menyapa dan menyalamiku lebih dulu, dan  hal ini di luar kebiasaannya. Ya Allah, ayah rupanya  sudah tahu bahwa waktunya sudah dekat dan ia ingin menyenangkan hati orang-orang yang dicintainya.

Dalam kesehariannya, ayah sangat luar biasa dalam menjalin hubungan baik dengan jiran tetangga dan kaum kerabat. Ia selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam upacara pemakaman dan—jika diundang—dalam pesta pernikahan.  Tidak sekadar hadir, ia sering pula diminta berpidato dalam melepas jenazah ke pemakaman dan menjadi pembawa acara dalam pesta pernikahan. Selain itu, ada lima STM (Serikat Tolong Menolong) yang diikutinya secara aktif. Bahkan, untuk STM ASIT (Asahan Serikat Islam Tapanuli), dia menjadi pengurus dan secara rutin mengutip iuran anggota dari rumah ke rumah—tentu  dengan sepeda motor—yang nilai nominalnya hanya—sekali lagi hanya--dua ribu rupiah. Mengingat usianya, kami sering melarang ayah naik sepeda motor, tetapi keinginan kami ditentangnya.

Benarlah kata peribahasa, “Apa yang kita tanam itulah yang kita petik”. Ungkapan bijak ini menemukan wujudnya pada pribadi ayah. Dari pelaksanaan fardu kipayah hingga pembacaan tahlil, rumah duka dihadiri oleh banyak orang. Kematiannya begitu indah, dan makin sempurna saat melihat jiran tetangga, kaum kerabat, dan handai tolan mengulurkan bantuan dan menghibur keluarga kami. Dalam hatiku terbersit rasa bangga, seperti kebanggaannya atas prestasi akademik yang kuraih. Selamat jalan ayah, kami ikhlas melepas kepergianmu. Semoga doa yang senantiasa kami panjatkan dapat melapangkan kuburmu dan mengantarkanmu ke tempat yang terbaik di sisi Allah SWT.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun