Mohon tunggu...
Muliati Darwis Nur Insani
Muliati Darwis Nur Insani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk Pemanfaatan Biaya Kesehatan

28 Agustus 2023   23:15 Diperbarui: 28 Agustus 2023   23:17 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berdasarkan Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021. Meningkatnya jumlah perokok tersebut tentunya beriringan dengan meningkatnya penerimaan cukau hasil tembakau (CHT).

Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah daerah yang berwenang bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Tujuan utama penerapan pajak rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat.

Dilansir dari laman CNBC Indonesia, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp198,02 triliun sejak 1 Januari - 14 Desember 2022. Angka ini meningkat 4,9% dibandingkan pada tahun lalu yang sebesar Rp188,81 triliun. Hal ini terjadi akibat dari kebijakan kenaikan tarif rata-rata tertimbang. Selain itu, hal tersebut disokong oleh kinerja penindakan dalam mengatasi peredaran rokok ilegal. Tarif rata-rata tertimbang diketahui sebesar Rp679 per batang pada 2022.

Pada tahun 2018 Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Peraturan tersebut diterbitkan atas pertimbangan Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan telah diubah beberapa kali. Dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan.
Presiden Joko Widodo menyebutkan jika Perpres tersebut diterbitkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan merupakan amanat Undang-Undang, yaitu UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pasal 31 UU PDRD menyebutkan pungutan atas pajak rokok dialokasikan paling sedikit sebesar 50% dan digunakan untuk mendanai program/kesehatan.
Hal tersebut menimbulkan beberapa isu di tengah masyarakat. Di satu sisi, Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia yakni 67 persen dari total jumlah perokok laki-laki di seluruh dunia (WHO), mendapatkan penerimaan cukup besar dari dari cukai dan pajak rokok. Penggunaan dari dana tersebut digunakan paling banyak untuk mengobati penyakit yang disebabkan rokok.
Penyakit jantung merupakan penyakit yang masih menempati urutan pertama penyakit yang paling banyak menyerap Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan di tahun 2020 dengan 11,5 juta kasus, menyerap anggaran Rp 8,2 triliun lebih.
Kemudian, di sisi lain kebijakan ini menuai kritikan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) misalnya. Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan pemerintah seolah menyuruh rakyat merokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan dengan mengalokasikan pajak rokok untuk badan tersebut.
Tulus berpendapat bahwa hal tersebut bisa menimbulkan sejumlah ironi yang justru kontraproduktif bagi masyarakat dan BPJS Kesehatan. Tulus juga menambahkan jika alokasi pajak rokok dan cukai hasil tembakau untuk menutup defisit BPJS Kesehatan dapat menimbulkan paradigma keliru di masyarakat bahwa aktivitas merokok diasumsikan sebagai bentuk bantuan kepada pemerintah dan BPJS Kesehatan agar tidak defisit.
Alih-alih dijadikan untuk penambahan biaya Jaminan Kesehatan, akan lebih baik apabila pajak rokok dan bea cukai dianggarkan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat, misalnya dengan mengadakan penyuluhan terkait bahaya rokok kepada para masyarakat khususnya bagi para perokok aktif. Setidaknya dapat menggerakkan mereka untuk perlahan-lahan mengurangi atau bahkan menghentikan kecanduan mereka terhadap rokok. Sehingga tujuan dari SDGs poin ketiga yaitu tentang Kehidupan Sehat dan Sejahtera yang bertujuan untuk menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia dapat terlaksana. Di samping itu, hal tersebut dapat menekan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit yang diakibatkan oleh rokok.

Referensi :

1. https://www.cnbcindonesia.com/research/20221222080741-128-399084/sri-mulyani-happy-pendapatan-cukai-rokok-nyaris-rp-200-t#:~:text=Jakarta%2C%20CNBC%20Indonesia%20%2D%20Kementerian%20Keuangan,yang%20sebesar%20Rp188%2C81%20triliun.


2. https://www.hukumonline.com/berita/a/beginilah-pro-kontra-penggunaan-pajak-rokok-untuk-bpjs-kesehatan-lt5ba8d6fd841c9/

3. http://bapenda.kalteng.go.id/pajak-rokok

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun