Tertriger dari obrolan bersama Ayah tercinta, ingatan-ingatan saya tentang selentingan istilah ustadz kembali di benak. Saat membicarakan tentang sebutan bagi almaghfurlah KH. Abdullah bin Nuh dari Cianjur. Beliau menyinggung tentang sebutan yang biasa digunakan pada beliau. Beliau biasa dipanggil dengan Ustadz Abdullah, terkhusus diantara para kyai saat itu. Perlu diketahui, sebutan kyai yang lumrah di Cianjur saat itu diantaranya mama, ajengan, kyai, uwa, dan lain-lain.
        Sebutan ustadz bagi beliau bukan sekedar panggilan bagi seseorang yang terlihat atau terpandang sebagai 'alim dari masyarakat. Latar belakang beliau sebagai seorang keluaran Al Azhar Kairo Mesir menjadikan istilah itu lebih cocok untuk digunakan. Ustadz sendiri sebenarnya adalah sebutan profesor di negeri-negeri Arab sana. Demikian pengetahuan umum di kalangan para santri, sepengetahuan dan apa yang saya dapatkan dahulu di pondok.
        Ketika masuk ke konteks Indonesia sekitar masa kemerdekaan. Sebutan Ustadz lekat dengan ahli agama terpelajar secara modern. Mereka sudah mengenal penggunaan kurikulum, sistem kelas, pedagogi, dan lain-lain. Sebagai gambaran, berbeda dengan "kaum sarungan" (istilah bagi Islam Tradisionalis Pesantren yang bernada peyoratif), pendidikan Islam yang biasa diterapkannya lebih kepada pengajaran secara mengalir tanpa kurikulum, juga santri berada dalam satu kelas besar.
        Ustadz saat itu mungkin mudahnya bisa disebut sebagai seseorang yang ahli di bidang agama dengan menggunakan metode-metode kontemporer. Mereka tidak anti terhadap pembaharuan atau setidaknya mudah untuk mengadopsi kemajuan barat. Simbolisasinya menurut saya bisa diberikan pada orang-orang Masyumi yang menyongsong kemajuan dan persatuan Islam. Jadi istilah ustadz semacam Grand Master di kalangan Masyumi ataupun Islam Modern.
        Memasuki masa reformasi, istilah ustadz mulai mengalami pergeseran. Sejauh yang saya dapat, istilah ustadz mulai sering digunakan oleh kalangan Tarbiyyah. Entah secara sengaja atau tidak, memang kalau melihat pada pembaharuan yang dilakukan KH. Abdullah bin Nuh. Kalangan tarbiyyah yang terpengaruh oleh gerakan Ikhwanul Muslimin dari Mesir mungkin memiliki kesamaan asal. Tapi kalau menurut saya lebih cocok kalau dikatakan penggunaan ustadz oleh tarbiyyah sebagai identifikasi diri.
        Sebagaimana diketahui, kalangan Tradisionalis lebih suka menggunakan istilah-istilah yang berbau keindonesiaan. Di Jawa ada sebutan Gus, Mbah, Romo, dan lainnya. Di Sunda ada sebutan Akang, Aang, Uwa, Mama, Ajengan, dan Mang. Kyai biasa digunakan di Sunda maupun Jawa. Saya yakin untuk daerah lain juga memiliki istilah sendiri. Menjadi soal bagi Tarbiyyah untuk mengadakan sebutan khas, pun mungkin pengaruh mereka yang senang dengan purifikasi dimana identik pula dengan arabisasi.
        Seiring berjalannya waktu, agaknya istilah ustadz terlalu mudah diberikan saat ini. Hal ini masih bersamaan dengan gelombang reformasi. Mengutip dari Artikel yang ditulis oleh Arie Putra, Co-Founder Total Politik, menyatakan bahwa gelombang reformasi membawa kebebasan pula pada arus dakwah Islam. Kebebasan itu seakan melepas belenggu tahap-tahap yang biasa dilalui oleh para pendakwah, pengajar, pun alim ulama Islam.
        Disinilah lahir orang-orang yang "baru" mengenal Islam. Istilah yang digunakan oleh Bung Ari kalau tidak salah adalah pendakwah berbasis popularitas. Hal itu disinggung oleh Bung Ari di bagian akhir dari artikel setelah mengulas bagaimana ketokohan Cak Nur, Gus Dur, Buya Syafi'i, Amin Rais, dan lain-lain. Dimana sesuatu yang langka untuk kedepannya ialah membentuk tokoh-tokoh seperti mereka yang benar-benar ditempa oleh dunia pendidikan baik di pondok pesantren maupun secara akademis kampus.
        Contoh yang digunakan oleh Bung Ari kalau tak salah seperti fenomena ngetop 2000-an dengan munculnya Aa Gym, Almarhum Uje, dan lainnya. Ini juga bisa diperkuat dengan komentar yang disampaikan oleh Sesepuh Muhammadiyah Cianjur Kyai Tohir Azhari saat saya berkunjung ke rumah beliau. Kami membahas pentingnya kaderisasi ulama untuk dipersiapkan sejak dini.
        Tidak ada yang salah dengan evolusi istilah ustadz ini. Perubahan-perubahan ini tentu bisa memiliki dampak positif maupun negatif. Tergantung sudut pandang dan kemauan Kita dalam mengambil perspektif. Uniknya bagi saya sendiri ialah dinamisnya nilai yang terkandung dari suatu kata dari mulai kudus hingga biasa saja, mahal menjadi murah, sulit menjadi mudah, maupun ingatan-ingatan sejarah yang tersimpan dalam satu kata "ustadz" itu sendiri.