Struktur dasar sebuah artikel ilmiah pada dasarnya dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang logis dan sistematis. Di bagian pendahuluan, penulis menjelaskan apa yang dilakukan dan mengapa hal tersebut penting dilakukan. Di bagian metode, dijelaskan bagaimana proses penelitian dijalankan. Selanjutnya, bagian hasil berisi temuan yang diperoleh, yang idealnya diawali dengan kalimat eksplisit seperti "Riset kami kali ini menemukan bahwa...". Dan pada bagian diskusi, penulis diharapkan mampu mengulas apa makna dari temuan tersebut dalam konteks keilmuan yang lebih luas. Keempat pilar artikel ilmiah ini menjadi tulang punggung dari naskah ilmiah yang solid.
Sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA), saya kerap berdiskusi dengan mahasiswa maupun kolega tentang bagaimana menulis artikel ilmiah yang tidak hanya terbit, tetapi juga memiliki bobot akademik yang kuat. Dalam bagian keenam seri UNIMMA Berbagi Tips Menulis Artikel, saya ingin mengajak Anda menelaah lebih dalam tentang bagaimana menyusun body dari sebuah original research paper (ORP) dan bagaimana memahami serta memanfaatkan elemen kebaruan, atau yang sering kita sebut sebagai novelty dalam penulisan ilmiah.
Namun, yang menjadikan sebuah artikel lebih dari sekadar laporan ilmiah biasa adalah novelty-nya. Dalam pengalaman saya, novelty bisa muncul dalam empat bentuk utama: pertama, kebaruan dalam gagasan atau pertanyaan penelitian; kedua, kebaruan dalam metode atau pendekatan yang digunakan; ketiga, kebaruan dalam cara menyajikan hasil atau visualisasi data; dan keempat, kebaruan dalam diskusi atau sudut pandang interpretasi terhadap temuan. Idealnya, sebuah artikel mampu menghadirkan keempat bentuk kebaruan ini secara utuh. Namun saya menyadari, tidak semua penulis berada dalam kondisi ideal tersebut, dan itu tidak masalah.
Jika tidak memungkinkan untuk menghadirkan gagasan yang benar-benar baru, maka metode bisa menjadi ruang untuk berinovasi. Misalnya, ide kita serupa dengan riset yang sudah ada, tapi kita mencoba membuktikannya dengan pendekatan yang lebih sederhana atau efisien. Jika metode pun tidak sepenuhnya berbeda, kita masih bisa tampil dengan cara menyajikan data yang lebih jernih, visualisasi yang lebih komunikatif, atau narasi yang lebih mudah dicerna. Dan jika ketiganya terasa standar, maka pembahasan yang dilakukan dari sudut pandang yang berbeda, misalnya dengan mengaitkannya ke teori lintas disiplin atau fenomena aktual, bisa menjadi pembeda yang tetap bermakna.
Saya selalu menekankan kepada mahasiswa dan rekan peneliti: jangan menyerah hanya karena merasa semua aspek riset kita "biasa-biasa saja." Di tengah persaingan publikasi yang ketat, memiliki satu titik kebaruan saja, entah di gagasan, metode, penyajian, atau diskusi, sudah cukup untuk menarik perhatian reviewer dan editor jurnal. Tulisan yang disusun dengan jujur, logis, dan disampaikan dengan cara yang segar, tetap memiliki peluang untuk memberikan kontribusi yang dihargai.
Menulis artikel ilmiah adalah kombinasi antara kerja keras dan strategi. Kita tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan penelitian, tapi juga menyusunnya dalam struktur yang sistematis dan menyampaikan kontribusinya secara jelas. Dalam kondisi apa pun, jangan biarkan keterbatasan membungkam kontribusi kita. Selalu ada ruang untuk menyuarakan ilmu, selama kita tahu cara menyampaikannya dengan tepat.
Artikel lainnya: UNIMMA Berbagi Tips Menulis
muji.blog.unimma.ac.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI