Di tengah derasnya arus administrasi akademik yang kadang terasa mencekik, publikasi ilmiah sering kali dipandang sebagai formalitas belaka. Syarat naik pangkat, poin akreditasi, atau sekadar mengejar target tahunan. Tak sedikit akademisi, termasuk saya di masa-masa awal karier, yang menulis karena "harus", bukan karena "perlu". Namun pengalaman mengajar dan meneliti di Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA), serta berdiskusi dengan rekan-rekan sejawat, membuat saya semakin sadar "Menulis Artikel Ilmiah: Membangun Identitas, Bukan Sekadar Administrasi"
Dari Kewajiban Menuju Kesadaran Akademikins
Sebagai dosen Teknik Mesin, saya percaya bahwa setiap artikel yang diterbitkan adalah jejak intelektual. Ia merepresentasikan bagaimana kita berpikir, bidang apa yang kita tekuni, dan sejauh mana kita berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menulis itu ibarat berkaca: kita melihat ulang hasil riset, mengolahnya dengan kritis, dan menyampaikannya kepada dunia. Dalam proses itu, bukan hanya ilmu yang kita sebarkan, tetapi juga nilai-nilai akademik, keberpihakan terhadap isu-isu kemasyarakatan, dan tentu saja, integritas keilmuan.
UNIMMA Berbagi Gagasan dan Dampak
Melalui program-program berbagi pengetahuan seperti pelatihan penulisan, workshop publikasi ilmiah, hingga forum diskusi lintas disiplin, UNIMMA mencoba menanamkan semangat baru dalam menulis. Kami ingin menciptakan ekosistem akademik yang tidak hanya produktif, tetapi juga reflektif, menyadari bahwa karya ilmiah harus punya dua kontribusi: pada IPTEK dan pada komunitas. Karena apa gunanya riset yang hanya terbit di jurnal bereputasi tetapi tidak menyentuh realitas sosial? Bayangkan jika hasil penelitian bisa menjadi solusi bagi UMKM lokal, penguatan kurikulum vokasi, atau bahkan inspirasi kebijakan daerah. Menulis ilmiah, dalam kerangka ini, menjadi jalan berbagi yang bermakna.
Novelty adalah Nyawa Tulisan
Di era publikasi masif, novelty atau kebaruan adalah kunci. Gagasan yang unik, metode yang inovatif, atau bahkan studi kasus yang relevan secara lokal bisa menjadi pintu masuk ke kontribusi global. Sebagai akademisi teknik, saya belajar bahwa bahkan modifikasi kecil pada sistem mesin bisa berdampak besar jika dikaji dan ditulis dengan sudut pandang yang segar. Menemukan novelty memang tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil. Ia lahir dari kepekaan, ketekunan membaca, dan keberanian mempertanyakan hal-hal yang selama ini dianggap mapan.
Menulis dengan Etika dan Estetika
Satu hal yang sering terlupakan adalah pentingnya kenyamanan membaca. Artikel ilmiah memang bukan cerpen, tapi bukan berarti harus sulit dipahami. Justru gagasan kompleks perlu disampaikan secara sederhana dan sistematis. Tampilan visual, struktur kalimat, dan alur berpikir harus mendukung keterbacaan. Saya sering mengingatkan mahasiswa bimbingan saya: tulisan ilmiah itu harus enak dilihat dan enak dibaca. Karena dari sanalah jembatan pemahaman dibangun, dan dari pemahaman, datanglah pengaruh.
Menulis Ilmiah adalah Proses, Bukan Proyek
Tidak ada penulis yang langsung hebat sejak paragraf pertama. Semua butuh proses. Termasuk saya, yang baru benar-benar menyadari esensi menulis setelah sekian kali merevisi, gagal, dan belajar lagi. Menulis bukan proyek sekali jadi, melainkan perjalanan panjang yang terus berkembang. Mari menulis bukan karena diminta, tapi karena merasa perlu. Bukan karena target, tetapi karena kesadaran. Sebab hanya dari kesadaran itulah lahir tulisan-tulisan yang tak sekadar terbit, tapi juga menginspirasi dan berdampak.
Artikel lainnya: UNIMMA Berbagi Tips Menulis
muji.blog.unimma.ac.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI