Dalam tahun-tahun itu pula, pemasukan sekolah hanya mengandalkan SPP (dulu BP3) yang pada waktu itu sebesar lima ratus rupiah. Pemasukan itu kadang tersendat entah orang tua yang tidak mampu atau kesadaran mereka yang masih kurang. Bantuan dana dari kas dana desa juga tak seberapa. Setiap rapat dengan orangtua murid, setiap usulan untuk menaikkan SPP, banyak orangtua murid yang tidak setuju. Bahkan mereka mengancam akan menarik anaknya dari TK tersebut.
Dalam beberapa tahun pula, Ibu mengajar sendirian. Pernah ada yang membantunya mengajar, seorang perempuan yang usianya lebih muda dari ibu. Tapi hanya bertahan beberapa bulan. Jangan tanya soal gaji. Ibuku bukan pegawai negeri. Hanya, seperti yang sering Ibu katakan, berjuang.
3—
”Sudah berapa tahun sih Ibu mengajar?” Tanyaku suatu ketika di bulan Maret 2008.
”Berapa, ya. Kalau tidak salah sudah lebih dari tujuh belas tahun?”
Aku melongo. Tak percaya ternyata sudah selama itu.
Kini, di tengah umurnya yang hampir mendekati empat puluh tahun, ia masih naik-turun bukit menuju ke sekolahnya. Mereka yang dulu menjadi anak-muridnya sekarang sudah banyak yang menikah dan mempunyai anak. Kondisi sekolah itu kini juga lebih baik dibanding beberapa tahun silam. Sudah ada beberapa guru yang membantunya mengajar. Bu Sum sudah mendapat honor dari pemerintah meskipun jumlahnya tidak seberapa.
Malah ia juga pernah ditawari untuk mengajukan sertifikasi dengan syarat punyai ijasah minimal diploma II. ”Wah, nanti kalau otak saya tidak mampu bagaimana,” katanya. Ia tidak jadi mengajukan sertifikasi.
Sekarang sudah dua puluh satu tahun ia mengajar. Status Bu Sum masih seperti dulu ketika ia mendirikan TK Al-Bidayah: guru perjuangan sebagaimana yang sering ia katakan. Bagiku, Bu Sum adalah sosok seorang ibu, guru dan juga seorang pahlawan. [-]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H