Sering kali kita merasa gelisah ketika melihat generasi muda terjebak dalam pusaran apati terhadap politik. Kita melihat mereka lebih tertarik pada gawai, tren digital, dan hiburan, seolah-olah dunia di luar itu tidak ada. Padahal, keputusan-keputusan politik yang dibuat hari ini akan sangat menentukan masa depan mereka, bahkan jauh setelah kita tiada. Kegelisahan ini wajar, dan justru menjadi pengingat bagi kita semua: sudah saatnya kita mengalihkan fokus dari hanya sekadar melarang mereka berpolitik, menjadi mengarahkan dan mengajarkan mereka berpolitik dengan benar.
Sebab, politik bukanlah sekadar perebutan kekuasaan. Politik adalah sebuah keniscayaan. Ia hadir dalam setiap denyut nadi kehidupan, mulai dari harga sembako di pasar, kualitas pendidikan di sekolah, hingga ketersediaan lapangan kerja yang layak. Jika anak-anak muda kita tidak memahami hal ini, mereka akan menjadi korban dari sistem yang tidak pernah mereka pahami. Mereka akan diatur oleh mereka yang paham dan mau berpolitik, sementara mereka sendiri tak memiliki suara dan kendali atas masa depan mereka.
Warisan Antusiasme dari Masa Muda DuluÂ
Mungkin kita perlu menoleh ke belakang, pada sejarah perjuangan bangsa. Kemerdekaan Indonesia, yang kita nikmati saat ini, adalah buah dari kegigihan dan semangat politik kaum muda. Mereka bukanlah politisi berpengalaman, melainkan pemuda-pemuda yang dipenuhi idealisme dan cinta tanah air.
Ambil contoh Sutan Sjahrir , yang pada usia 20-an sudah menjadi pemikir politik dan ideolog penting. Beliau pernah menulis, "Kemerdekaan adalah jembatan emas, di seberangnya kita bangunkan bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur." Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah seruan politik untuk membangun bangsa setelah kemerdekaan. Sjahrir mengajarkan bahwa politik adalah alat untuk mewujudkan cita-cita luhur, bukan sekadar memperebutkan kekuasaan.
Ada pula Tan Malaka , sosok yang gigih dan revolusioner. Pemikirannya tentang "Aksi Massa" menjadi inspirasi bagi banyak gerakan perlawanan. Tan Malaka percaya bahwa kekuatan politik sejati terletak pada kesadaran dan gerakan rakyat. Ia menunjukkan bahwa politik adalah tentang mengorganisir dan memberdayakan masyarakat kecil, bukan hanya elite. Semangat ini relevan hingga kini: kekuatan politik terbesar adalah ketika rakyat bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Kita semua tahu, kekuasaan politik di negeri ini sering kali jatuh ke tangan mereka yang memiliki modal besar, nama besar, atau keberuntungan semata. Posisi-posisi penting diisi bukan berdasarkan kompetensi dan karakter, melainkan karena mereka mampu membeli suara atau mewarisi popularitas dari orang tua. Praktik ini telah menggerogoti kekayaan bangsa kita, di mana korupsi merajalela dan janji-janji politik hanyalah ilusi. Rakyat yang seharusnya sejahtera, justru tetap terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, sementara segelintir elite makin kaya raya.
Untuk memutus rantai ini, kita tidak bisa hanya berharap pada perubahan dari atas. Kita harus membangun fondasi yang kokoh dari bawah, yaitu dari generasi muda kita. Kita harus mengajarkan mereka bahwa berpolitik bukan tentang mendapatkan kursi, melainkan tentang membangun keterampilan dan karakter yang luhur. Mereka harus dipersiapkan untuk memegang estafet kepemimpinan bukan karena warisan nama atau kekayaan, melainkan karena mereka memang kompeten dan berintegritas.
Tiga Pilar Keterampilan Politik untuk PemudaÂ
Lalu, apa saja yang harus kita ajarkan? Tidak melulu tentang teori kenegaraan yang berat, tetapi keterampilan-keterampilan praktis yang dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, keterampilan membangun silaturahim . Dalam dunia yang serba digital, hubungan personal yang mendalam sering kali terabaikan. Padahal, politik adalah seni membangun dan mengelola hubungan. Ajaklah anak-anak muda kita untuk berinteraksi dengan orang dari berbagai latar belakang, mendengarkan cerita mereka, dan membangun empati. Ajarkan mereka bahwa kekuatan sejati tidak datang dari kekuasaan, melainkan dari kepercayaan yang dibangun melalui jaringan yang tulus, baik dengan para pembuat keputusan maupun dengan masyarakat awam.