Kritik dari akademisi dan lembaga swadaya masyarakat menyebut praktik ini sebagai bentuk baru dari greenwashing. Firdaus Cahyadi, pendiri Indonesian Climate Justice Literacy dan mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di IPB University, menyatakan bahwa "green mining tak lebih hanya greenwashing, sebuah upaya memanipulasi kesadaran publik atas lingkungan hidup."
Narasi pertambangan hijau seringkali hanya menjadi alat branding, bukan perubahan nyata. Ibaratnya, istilah tersebut hanya dijadikan sebagai topeng kebaikan untuk menutupi kejahatan terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Menuju Ekonomi Hijau yang Inklusif
Ekonomi hijau sejati harus memikirkan keadilan ekologis dan sosial secara menyeluruh, bukan sekadar mengganti teknologi tinggi untuk kepentingan pasar global. Transisi energi tidak boleh mengorbankan komunitas lokal yang hidupnya terdampak langsung oleh aktivitas ekstraktif, seperti yang terjadi di wilayah tambang nikel di Indonesia. Mereka sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan atas nama pembangunan hijau yang tidak benar-benar inklusif.
Kebijakan ekonomi hijau yang adil harus disertai dengan transparansi dalam pengambilan keputusan, partisipasi aktif masyarakat terdampak, serta pengawasan lingkungan yang kuat dan independen. Keterlibatan komunitas lokal bukan hanya dalam bentuk konsultasi formal, tetapi dalam proses perumusan hingga evaluasi proyek hijau. Hal ini penting agar keberlanjutan tidak dimonopoli oleh segelintir aktor korporasi dan elite negara.
Selain itu, berbagai inisiatif alternatif seperti pertanian kota (urban farming), penguatan transportasi publik berbasis energi bersih, serta desentralisasi energi terbarukan seperti panel surya komunitas, dapat menjadi arah baru dalam pembangunan hijau. Pendekatan ini tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga membuka ruang partisipasi luas masyarakat dan mengurangi ketimpangan antarwilayah.
Redefinisi ekonomi hijau sangat diperlukan agar tidak hanya berganti warna, dari abu-abu ke hijau, tetapi juga benar-benar mengubah arah pembangunan menjadi lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat serta alam.
Kesimpulan
Kendaraan listrik dan tambang nikel menjadi contoh nyata bahwa ekonomi hijau yang dijalankan saat ini masih menyimpan banyak kontradiksi. Alih-alih sepenuhnya membawa perubahan menuju keberlanjutan, praktik-praktik di lapangan justru menunjukkan kecenderungan eksploitasi baru yang dibungkus dengan label ramah lingkungan.
Dampak ekologis dari pertambangan nikel, penggunaan istilah “pertambangan hijau” sebagai legitimasi tanpa perubahan mendasar, serta absennya keadilan sosial dalam transisi energi menunjukkan bahwa konsep green economy membutuhkan evaluasi dan pembaruan arah. Pembangunan yang mengatasnamakan lingkungan tidak boleh mengabaikan hak dan suara masyarakat terdampak, serta harus menjamin kelestarian alam dalam arti yang sebenarnya.
Pada akhirnya, semangat menyelamatkan bumi tidak boleh menjadi dalih untuk melanggengkan eksploitasi atas nama keberlanjutan. Justru di sinilah pentingnya kita membangun ekonomi hijau yang benar-benar hijau-tidak hanya dalam citra, tapi juga dalam prinsip, proses, dan dampaknya bagi bumi dan umat manusia.