Catatan Diary Bu Anis Hidayatie, Dikangeni Lelaki Beristri, memantik saya untuk kembali menulis tentang cerita bagaimana saya merasakan suka duka dan berliku-liku menapaki jalan hidup saya dalam pusaran kehidupan keluarga yang poligami. Terima kasih, Bu Anis sudah menginspirasi.
Sekadar untuk tahu saja, saya hidup dalam lingkungan keluarga yang poligami. Bukan untuk ria, apalagi sukaria dan bangga. Tidak sama sekali. Ini anggap saja saya sedang ingin becermin dan memetik pelajaran dari pengalaman. Karena bukankah pengalaman adalah guru yang paling baik.
Ini saya jujur, Diary. Dari kakek saya, ayah saya, juga ayah mertua saya (ayah istri saya), sampai kakak ipar saya adalah pelaku-pelaku poligami, beristri lebih dari satu istri, atau menjalani hidupnya dengan rela (tega) hati berbagi suami untuk istri-istrinya.
Lantas, saya sendiri? (Saya sudah menduga, Diary, otomatis kamu akan bertanya dan berseloroh seperti itu. Sabar, Diary, pelan-pelan ya, perjalanan masih panjang ini. Tarik napas dulu, tarik, tahan, tahaaan saja, lalu keluarkan!).
Tentang kakek saya dari pihak ibu saya berpoligami, sekilas sebagai pengantar sudah saya ceritakan dalam tulisan saya terdahulu, Ketika Kakek Poligami.Â
Dalam tulisan itu saya sempat bercerita tentang sosok kakek saya sebagai pria yang berpenampilan tampan, macho, dan gagah. Pokoknya laki banget, dan wajar menjadi pria idaman dan rebutan gadis-gadis cantik pada saat itu.Â
Apakah kakek saya termasuk kategori pria "punya selera" lebih, (maaf) seorang playboy, dan terbilang suami ganjen sehingga memutuskan rela (tega-teganya) mengisap madu dari kelopak bunga yang baru mekar (memadu), alias berpoligami? Saya bukan bermaksud dan terus terang tidak berani mengatakan itu. Yang jelas, realitasnya kakek saya pernah menjadi pelaku poligami.
Bagaimana ceritanya kakek saya bisa melakukan poligami atau beristri lagi? Sebermula kakek saya bekerja di sebuah BUMN di Jakarta. Otomatis jarang pulang tiap hari. Paling banter setengah atau sebulan sekali. Senasib dengan "Bang Toyyib". Jarang pulang.
Jadi istrinya (nenek saya) sering ditinggal. Tidak mungkin, nenek saya ikut kakek saya ke Jakarta. Karena nenek pun sibuk bekerja sebagai guru di SDN Anyer (tempat kelahiran nenek di Kabupaten Serang Banten). Jadi, kakek dan nenek saya terpaksa melakukan hubungan jarak jauh (LDR).
Apalagi, zaman itu tahun 50/60-an, transportasi darat antara Anyer dan Jakarta belum semaju sekarang. Tidak ada angkutan umum. Yang ada hanya angkutan laut, itu pun sekadar perahu nelayan.
Tentang perahu nelayan sebagai satu-satunya transportasi yang ada saat itu, adalah kilas balik cerita yang enggan saya tuturkan. Karena ini yang membuat gerimis air mata saya kala mendengar cerita dramatis dari ibu saya tentang nenek setelah tahu suaminya (kakek saya) nikah lagi atau punya istri lagi di Jakarta.