Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ketika Bercinta Hilang Rasa, Mengiakan Bermakna Menidakkan

10 Juni 2020   18:56 Diperbarui: 12 Juni 2020   18:32 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana konseling | Sumber foto: istockphoto.com

Suatu hari enam tahun yang lalu, seorang perempuan paruh baya, yang sudah lima tahun ini menjanda, pernah bercerita pada saya. 

Tak perlu saya sebut namanya. Tidak etis, dan menghormati privasinya. Tapi suatu saat mungkin saja ia membaca tulisan saya ini. Saya mohon maaf kepada perempuan paruh baya ini, karena saya berbagi tulisan ini merujuk pada pengalamannya yang pernah ia alami.

Saya memang sering dihadapkan pada situasi di mana mau tidak mau saya terpanggil untuk membantu, paling tidak, meringankan perasaan gundah, atau memberikan semacam konseling, dan berbagi solusi bagi pasangan suami istri yang tengah dihadapkan pada problem rumah tangganya.

Untungnya saya dulu pernah dapat mata kuliah psikologi. Dan secara intens saya mengkajinya, dan menuangkannya dalam karya tulis saya, skripsi yang saya selesaikan selama sebulan. Terutama masalah yang berkaitan dengan pendekatan konseling, dan pengaruh nilai-nilai agama dalam mengatasi gangguan-gangguan kejiwaan. Tapi saya bukan psikolog.

Banyak kisah, dan tidak sedikit pengalaman dan problem kehidupan rumah tangga yang diceritakan pada saya. Bahkan bercerita sampai hal-hal yang sangat pribadi, dan sensitif secara blak-blakan. 

Di saat seperti itu, saya ditantang untuk menjadi pendengar yang baik, melakukan komunikasi persuasif, memberikan suasana yang nyaman dan menyenangkan, empati, dan sebisa mungkin memberikan solusi, atau paling tidak, memberi ketenangan jiwa, semangat hidup, dan tetap berpikir positif dalam kondisi bagaimana mengatasi masalah yang dialaminya. Meyakinkan bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan.

Inilah salah satu masalah kehidupan dalam berumah tangga yang sempat diceritakan pada saya. Berkaitan dengan hubungan seksual suami istri yang kerap menjadi masalah yang memengaruhi keharmonisan kehidupan suami istri. Bahkan, berujung perceraian seperti yang dialami perempuan paruh baya ini.

Saya suka senyum saja, jika mendengar cerita seperti ini, apalagi dengan cara penyampaiannya yang ceplas-ceplos.

"Sudah dua tahun ini berjalan, saya sudah illfeel (sudah hilang rasa) bercinta dengan suami saya" perempaun ini mengawali ceritanya.

"Kok bisa?" kata saya. "Tapi, Anda tetap melakukan itu? Bagaimana mungkin Anda bercinta dengan suami Anda, sementara Anda sudah tidak ada hasrat lagi, alias illfeel? Berarti ada rasa malas, enggan, dan terpaksa Anda melakukannya?" respons saya dengan penuh tanya, tapi bernada mengklaim dan menyimpulkan.

Perempuan ini mengiakan pernyataan saya itu. Ia mengatakan bahwa ia selalu menuruti saja permintaan suaminya untuk bercinta ketika ia sudah tidak punya hasrat lagi, hilang rasa, malas, dan sebenarnya dalam hatinya ia menolak. Ia mengaku terpaksa, karena takut dibilang sebagai istri yang melawan, dan tidak taat suami. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun