Mohon tunggu...
Muh Rezky Sarif
Muh Rezky Sarif Mohon Tunggu... Seorang Mahasiswa

Mahasiswa yang memiliki ketertarika dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sri Muliyani!! "Guru adalah Beban Negara"(HOAX!!!), Prestasi, Anggaran, dan Ketimpangan yang Terlupakan

20 Agustus 2025   13:00 Diperbarui: 21 Agustus 2025   08:53 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Rezky

Pidato Menteri Keuangan Sri Mulyani di ITB pada 7 Agustus 2025 sempat menjadi sorotan publik. Sayangnya, sebagian besar perhatian justru tertuju pada potongan video hoaks yang menyebut guru sebagai “beban negara.” Padahal, jika kita menyimak isi pidatonya secara utuh, ada satu kalimat yang jauh lebih penting untuk dikaji:

"Inilah ujian bagi Indonesia: apakah kita ingin memberi penghargaan berdasarkan prestasi, atau hanya mendistribusikan anggaran demi kesetaraan?"

Kalimat ini mengandung dilema klasik dalam kebijakan publik: antara efisiensi dan keadilan. Di atas kertas, penghargaan berbasis prestasi terdengar ideal. Tapi dalam realitas sosial Indonesia yang masih penuh ketimpangan, pendekatan ini bisa menjadi alat eksklusi yang halus.

Ketimpangan yang Nyata

Kita belum setara secara ekonomi. Akses terhadap pendidikan, teknologi, dan lingkungan pendukung sangat timpang. Anak dari keluarga mampu lebih mudah meraih “prestasi” karena mereka punya modal sosial dan finansial. Sementara itu, guru di daerah tertinggal berjuang dalam keterbatasan: gaji minim, fasilitas rusak, murid putus sekolah.

Jika penghargaan hanya diberikan berdasarkan output, maka mereka yang berjuang dalam kondisi sulit akan makin terpinggirkan. Padahal, mempertahankan semangat belajar di tengah keterbatasan adalah bentuk prestasi yang tak kalah penting.

Efisiensi Tanpa Empati?

Sri Mulyani mengajak kita berdiskusi soal efisiensi fiskal. Tapi efisiensi tanpa empati bisa berujung pada ketidakadilan. Kita perlu sistem insentif yang adaptif—yang mempertimbangkan konteks lokal, tantangan struktural, dan usaha nyata.

Penghargaan seharusnya tidak hanya soal angka, tapi juga soal dampak. Guru yang bertahan di pelosok, menjaga harapan anak-anak, layak dihargai bukan karena nilai ujian, tapi karena dedikasi.

Menuju Kebijakan yang Inklusif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun