Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Adalah Wabah yang Lebih Berbahaya dari Corona

7 Oktober 2021   00:53 Diperbarui: 7 Oktober 2021   01:26 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Karena problem ini telah sering terjadi, dan para pengajar hasratnya lebih ke arah ekonomi ketimbang edukasi. Akhirnya tempat ajar (sekolah) hanya menjadi seperti apa yang dikatakan Freire transaksi buta saja, layaknya bank kepada nasabahnya.

Dari Pembangun Pikiran menjadi Pelaku "Genosida Kecerdasan"

Sekolah secara historis dibentuk dengan dasar-dasar filosofis yang meyakinkan, dengan harapan manusia dapat mengalami kemajuan yang cepat sekaligus distribusi pengetahuan lebih merata, para pakar pendidikan di sepanjang sejarah telah banyak memodifikasi metodologi pedagogi dalam sekolah, yang mana perubahan pedagogi dari masa ke masa memiliki harapan agar sekolah dapat membangun pikiran umat manusia.

Namun seiring melajunya peradaban, sekolah tak lagi murni tujuannya, sekolah seperti yang dikatakan William F. O'neil dalam pendahuluan bukunya 'Ideologi-ideologi Pendidikan' memiliki kepentingan-kepentingan yang terselubung di dalamnya.

 Baik kepentingan pemerintah politik pemerintah (semisal dengan mengajarkan ilmu sejarah yang mengagungkan pemerintah), kepentingan kapitalis-korporatis (seperti yang ada dalam SMK) dan kepentingan-kepentingan lainnya.

Dengan demikian kepentingan sekolah sebagai institusi pendidikan bukan lagi membangun pikiran, namun ternodai oleh banyak kepentingan-kepentingan lainnya, yang pada akhirnya menimbukan genocida kecerdasan. Silberman dalam 'Crisis In The Classroom' mengatakan bahwa biang kegagalan sekolahan adalah sikap dan tindakan 'tanpa pikir'.

Silberman mengatakan bahwa : "Pada dasarnya, para guru, kepala sekolah, dan para pemilik sekolah adalah orang-orang yang cerdas dan peduli, yang mencoba tuk melakukan yang sebaik mungkin, sebisa-bisanya. Andai mereka merusak pekerjaannya itu dan sebagaian besar dari mereka memang melakukannya itu karena tidak pernah terpikir oleh mereka--kecuali segelintir saja--untuk mempertanyakan secara serius dan sungguh-sungguh tentang tujuan dan konsekuensi pendidikan".

Terlihat jelas sindiran Silberman pada oknum sekolah yang mengabaikan konsekuensi dan tujuan dari pendidikan, pengabaian tersebut sendiri terjadi karena tergesernya kepentingan sekolah sebagai sarana mencerdaskan bangsa oleh kepentingan-kepentingan lainnya. 

Karena kepentingan-kepentingan itulah, sekolah dengan segala kemapanannya melakukan genocida kecerdasan pada umat manusia, sekolah telah membunuh impian, merusak masa depan, menghancurkan kreativitas, mengoyak kebebasan muridnya.

Sang 'messiah' telah menjadi 'wabah' sejak lama

Sekolah yang dipercaya sebagai 'messiah (penyelamat)' dengan demikian telah menjadi 'wabah' yang menjangkiti pendidikan umat manusia. Dan hebatnya wabah ini tak banyak disadari, kalaupun disadari, kesadaran itu akan menjadi naif semata, kesadaran itu hanya menjadi sinisme dan dianggap utopis karena terlalu idealis. Lalu pertanyaannya, apa obat atau vaksin dari wabah ini?

Silberman mengatakan penyelesaian masalah atau obat dari masalah ini adalah dengan menyuntikkan tujuan, terlebih menyuntikkan pemikiran tentang tujuan, serta refleksi apakah metode pendidikan itu memenuhi atau justru melenyapkan tujuan tersebut. 

Tujuan pendidikan itu sendiri seperti kata Driyarkara harusnya dibentuk dengan asas-asas liberasi (pembebasan), homonisasi (pengangkatan drajat) dan humanisasi (memanusiakan manusia).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun