Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Epistemologi dalam Metafisika Ketuhanan, Bolehkah Menalar Tuhan?

8 September 2020   12:13 Diperbarui: 9 September 2020   06:26 1639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sering kali kita disalahkan ketika mencoba menalar Tuhan, karena tuhan itu adalah entitas maha kuasa dimana kita tak boleh menalarnya. Paradox-nya, lalu untuk apa nalar kita diciptakan? Apakah hanya untuk menalar ciptaannya? Lalu bukankah menalar ciptaannya, secara eksplisit terselipkan pikiran terhadapnya? .

Metafisika adalah suatu usaha penalaran seorang hamba perihal Tuhan-nya, dari Descartes lalu di ganti Kant dengan korelasionis-nya, di ganti Hegel dkk dengan Subjektalis-nya, di kembalikan oleh Heiddeger dkk dengan menguatkan korelasionis yang dikemukakan oleh Kant, hingga Meillassoux dengan paradigma spekulatifnya.

Lalu, kegunaan metafisika sendiri seringkali di jadikan hantu untuk membayangi ilmu tersebut, padahal peranan metafisika sendiri sangatlah penting, dalam politik misalkan, metafisika menganalisa dunia mana yang tidak diskriminatif dan sistem politik mana yang tidak diskriminatif. Sebagai contoh : Analisis metafisika terhadap kapitalisme.

Dalam Islam sendiri, metafisika adalah hal2 yang dulunya sering dimunculkan, namun sekarang agak2nya ia diharamkan, Ibnu Taimiyah misalnya, beliau adalah seorang Ulama' besar yang ahli dalam metafisika, ada lagi Ibnu Rusyd, seorang akademisi muslim yang mengguncangkan dunia pemikiran barat dengan dualisme kebenarannya, dan masih banyak yang lainnya.

Kembali kepada topik awal, yakni pandangan Epistemologis (keilmuan) dalam ruangan metafisis, saya tak akan menjelaskan panjang-panjang perihal perdebatan mengenai epistemologi dalam metafisika ini, dimana ada orang2 saintis atheis/positifistik akan menghujat kaum saintis-teis. Dalam epistemologi islam, dibagi 3 konsep epistemologi didalamnya, yakni :
(1) epistemologi bayani :
pengetahuan berdasarkan keaslian teks dalam sunnah dan Al-Qur'an
(2) epistemologi burhani : pengetahuan berdasarkan konteks alam/sosial-humaniora
(3) epistemologi irfani :
pengetahuan berdasarkan intuisi dan pengalaman batiniyah

Kita akan menggunakan ketiganya (singkat saja)  untuk mengolah topik ini. Agama dengan konsep ketuhanan yang dibawanya, membuat suatu konsep A Priori (sesuatu yang diprediksi *belum ada) yang sangat kompleks, sangking kompleks-nya kaum saintis-anarkis tak dapat menemukan Paradigma Ilmiahnya, lalu mereka menyalahkan konsep tersebut secara Deduktif dan Induktif , tapi mereka lupa menalar-nya dengan konsep ontologi-eksistensial (abduktif) , dimana konsep tersebut dimasukkan oleh Popper sebagai suatu falsifikasi terhadap kajian epistemologi .

Bila dinalar secara Bayani, Burhani atau-pun Irfani. Islam tetap membawa epistemologi didalam setiap proses kajiannya, sehingga membawa tendensi yang radikal terhadap metafisika ketuhanannya, kita tetap menghormari kaum saintis (walau anarkis) yang menyumbang paradigma ilmiah kedalam penalaran kita, dengan tetap terus mengkaji berbagai macam reduksi keagamaan.

Kembali lagi kedalam sains, hal2 mengenai metafisika atau pseudo-sains ramai2 dihilangkan oleh kaum saintis-anarkis. Comte misalnya, dengan pandangan positifisme ia mengharuskan segala ilmu dapat di verifikasi (diuji dengan metode ilmiah).

Hal itu kemudian membuat sains menjadi ideologi, tentunya kalau ideologi akan ada musuhnya, misalkan : Atheis vs Teis, Positifisme vs Teologi dll. Hal ini menjadi dilema besar hingga saat ini, puncaknya ketika Zaman Aufklarung (abad pencerahan).

Karl R Popper, seorang filsuf dari Wina, memberikan solusi terhadap problem ini, ia mencoba mendamaikan kaum saintis-anarkis dengan kaum teolog-teis dengan menciptakan metode falsifikasi (membedakan antara yang mana sains dan yang mana pseudo sains).

Paul Feyerabend juga, seorang filsuf postmodern yang terkenal dengan pandangan anarkisme-nya terhadap epistemologi yang menurutnya telah tercemar oleh aturan metodologis universal, karena tak ada metode sains yang benar2 fixed, ia menciptakan sikap Anything Goes (apapun ok), didalam sikap ini Feyerabend mengatakan bahwa awalnya sains bermula sebagai suatu pandangan pembebasan, yang pada perjalanannya ia menjadi dogmatis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun