I. Epilog: Kritik atas Rasionalitas Murni dan Kebangkitan Sosiologi Ekonomi
Ekonomi Indonesia pada tahun 2024 dan proyeksi untuk 2025 menunjukkan gambaran dualistik yang kontradiktif. Di satu sisi, terdapat optimisme yang didorong oleh pertumbuhan realisasi investasi, dengan capaian Triwulan I 2025 yang tumbuh 15,9% di tengah gejolak global. Strategi fokus pada hilirisasi komoditas strategis, seperti tembaga dan tilapia, memberikan kontribusi positif terhadap capaian ini.
Namun, di balik angka investasi yang menggembirakan, terdapat tantangan internal yang bersifat struktural.Data menunjukkan penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu penyumbang utama PDB, yang menggambarkan tekanan terhadap daya beli. Selain itu, ketimpangan tetap tinggi, terlihat dari angka Rasio Gini pada bulan Maret 2023 sebesar 0,388, dan masalah pengangguran struktural masih terjadi, dengan 7,2 juta orang yang tidak memiliki pekerjaan hingga bulan Februari 2024.
Kegagalan ini menuntut kita untuk beralih ke perspektif sosiologi ekonomi, khususnya kerangka embeddedness (keterlekatan). Perspektif ini berpendapat bahwa setiap tindakan ekonomi selalu terhubung dalam hubungan sosial, struktur kekuasaan, dan lembaga. Pasar tidak pernah murni atau terlepas sepenuhnya (disembedded) seperti yang diasumsikan oleh model ekonomi tradisional [4]. Analisis ini menolak pandangan bahwa aktor ekonomi bersifat murni rasional (under-socialized) atau patuh secara buta terhadap norma (over-socialized), dan melihat perilaku ekonomi sebagai sesuatu yang berkembang dalam jaringan relasi antarindividu [5].
II. Membongkar Mitos Pasar Murni: Tiga Dimensi Embeddedness
Konsep embeddedness dikembangkan secara signifikan oleh dua pemikir utama: Karl Polanyi dan Mark Granovetter. Masing-masing menawarkan dimensi keterlekatan yang berbeda, tetapi esensial untuk memahami kompleksitas ekonomi Indonesia.
A. Karl Polanyi: Ancaman Keterlepasan Institusional
Karl Polanyi, seorang antropolog ekonomi, menyatakan bahwa ekonomi substantif adalah "proses interaksi yang dilembagakan antara manusia dan lingkungannya," yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Menurut pandangan substantivis ini, pasar bukanlah satu-satunya lembaga yang menentukan cara transaksi ekonomi dilakukan. Polanyi berpendapat bahwa dalam masyarakat pasar modern, kegiatan ekonomi cenderung menjadi lebih rasional dan terlepas (disembedded) dari konteks sosial, sehingga bisa mengikuti logika sendiri, yang sering kali menyebabkan dampak negatif.
Analisis Polanyi berfokus pada peran lembaga-lembaga, seperti institusi sosial, politik, dan hukum, dalam mengatur atau gagal mengatur proses ekonomi. Konsep keterlekatan dalam pandangan Polanyi menggambarkan bagaimana sistem pasar dikembangkan dan dibentuk karena tekanan dari lembaga-lembaga sosial, yang pada akhirnya memengaruhi proses penciptaan nilai. Di Indonesia, praktik sosial dan politik berkelanjutan, dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hingga Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU, merupakan contoh nyata bagaimana struktur lembaga (institusional) membentuk kerangka kerja tempat kegiatan ekonomi berlangsung, meskipun sering kali dalam jangka waktu lima tahunan.
B. Mark Granovetter: Kekuatan Jaringan Relasional
Berbeda dengan Polanyi yang memusatkan perhatian pada institusi makro, Granovetter lebih menekankan pada tingkat mikro, yaitu jaringan hubungan antarindividu. Granovetter menolak pandangan bahwa aktor ekonomi berinteraksi sebagai individu yang bersifat asing dan rasional. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kebanyakan perilaku ekonomi sangat dipengaruhi oleh jaringan hubungan interpersonal.