Konten yang cukup ndakik-ndakik. Sebab sudah beberapa jam saya buntu. Juga buntung sebab banyaknya rokok yang, tanpa arti, jadi puntung. Meski begitu tak apalah, alhamdulillah, sebab artinya saya telah disuruh jiwa tak kasat untuk berjodoh dengan petani mbako. Lha kok bisa? Ya kan, saya, ikut memakmurkan mereka to? Meski begitu, saya cukup pikir panjang terhadap orang-orang yang bilang bahwa sebenarnya yang saya makmurkan adalah elit-elitnya perusahaan rokok.
Nah (kebetulan nyambung dengan yang selanjutnya), apakah itu salah satu contoh rusaknya keadilan sosial? Apakah dengan lebih untungnya elit pedagang rokok ketimbang petani rokok mengartikan bahwa keadilan sosial telah rusak?
Ya Fadhil. Itu adalah pertanyaan yang ndakik-ndakik. Meski seharusnya jawabannya singkat (ya-tidak), tapi orang-orang pasti akan tanya, lha emang kenape bray?Â
Yak. Keluar lagi pertanyaan yang cukup ndakik-ndakik. Sebab, jawabannya mesti panjang. Serta harus melewati beberapa penelitian ilmiah. Sebab bila dijawab dengan karya sastra seperti puisi hanya akan dibaca di tiap-tiap konser untuk memenuhi jiwa-jiwa yang kosong. Setelah itu? Hilang atau barangkali hanya dibeo tanpa dicari jalan keluarnya. Sebab kebijakan hanya berlaku bila ada matematikanya. Matematika! Apa memang kebijakan kebijakan harus berpangkal pada matematika? Oh. Sungguh. Hidup tak semudah matematika. Bila pun struktur dunia, ujar van Peursen penulis buku Strategi Kebudayaan, sudah ditemukan, maka dunia sungguhlah dapat ditebak tiap-tiap langkahnya. Barangkali kita dapat menghitung kapan ia korupsi, kapan ia masturbasi, kapan ia menabur biji. Namun, sungguh, siapa yang dapat menghitung cinta? Oh. Demi Ong Ilahing, ujar Sujiwo Tejo seperti dalam tiap-tiap pentasnya.
Lalu, apa yang hendak kau lakukan Fadhil?
Bahkan secara ekonomi, kita dapat melihat bahwa para petani mbako itu seakan debu ketimbang para elit perusahaan rokok. Dan saya pikir, hal tersebut adalah pakem adanya. Seperti di perusahaan-perusahaan lain, elit-elit selalu menunggangi 'kudanya'. Dan kuda hanya akan marah bila tak dikasih makan. Kuda hanya akan marah bila dipaksa kerja terus-terusan. Kuda pun hanya akan marah bila dicambuk habis-habisan. Kehendak untuk melihat keadaan serta memetakan posisi orang-orang terlalu repot bagi mereka untuk dipikirkan. "Pokok e aku mangan?!" Namun, saya pun sadar bahwa keadaan tak sesimpel itu. Konstelasi negara mengenai pengangguran, rasa alhamdulillah masyarakat dalam memandang hal yang didepannya, hubungan multinasional yang seabrek jentrengannya, sungguhlah, patut jadi bahan pertimbangan.
Meski begitu, saya cukup terperangah mengenai tulisan Cak Nun dalam bukunya Arus Bawah, yang berikut akan saya kutip:
"Di tengah dominasi pakem Mahabharata yang mencengkeram kehidupan Karang Kadempel, tugas Punakawan-lah untuk merintis Gerakan Carangan. Menjadi alternatif. Mengusahakan perjuangan dari basis. Membuat warga Karang Kadempel mengerti bahwa rakyat adalah Dewa-Dewa Agung yang memegang kedaulatan tertinggi di Karang Kadempel. Menyadarkan mereka bahwa keadaan telah membatu Karang, tetapi air harus terus menetes dan kelak melubanginya."
 Ya. Saya melihat bahwa mereka yang duduk sambil diskusi atau mereka yang biasa bersafari, tidak benar-benar menyentuh jantung masyarakat. Segala pertimbangan hanya berdasarkan angka-angka, tak menengok kusamnya rupa-rupa. Ditambah, kebenaran akan welfare-statementi hanya ikut-ikut hasil penelitian barat. Penemuan akan hal yang sejati atau benar-benar membuat membuat manusia bahagia cukup jarang ditemukan. Gampangannya, pemerintah hanya memperkenalkan bahwa sumber kebahagiaan hanyalah uang. Padahal...