Mohon tunggu...
Zulkifli Muhammad
Zulkifli Muhammad Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Just Ordinary People

Menulis untuk sebuah pembebasan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Keranjingan Batu Akik dan Energi Budaya Kolektif

26 Mei 2015   14:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:34 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dahulu kalau ada lelaki yang datang hendak melamar seorang gadis namun belum memiliki pekerjaan tetap, maka ia harus siap mendengar pertanyaan orang tua si gadis “Mau dikasih makan apa anak saya ? Apa mau dikasih makan batu ? Sampai dengan beberapa waktu lalu pertanyaan ini kedengarannya masih rasional, namun setelah batu akik booming di seantero nusantara, orang tua yang masih ingin bertanya seperti itu harus berpikir dua kali, karena faktanya sekarang orang sudah bisa mencari nafkah dari “batu” bahkan ada yang bisa jadi jutawan hanya dengan menjual batu, tentunya bukan sembarang batu, tapi batu akik. Hampir disemua tempat tidak terkecuali dipinggir jalan, di pasar-pasar, bahkan di mall –mall selalu ada orang menjual batu atau menjual jasa yang berhubungan dengan batu.

Mungkin kita masih ingat, sekitar empat dekade yang lalu (kurang lebih sekitar tahun 1970-an) Muchtar Lubis dalam bukunya yang berjudul “Manusia Indonesia sebuah pertanggung jawaban” pernah menyebutkan beberapa ciri manusia Indonesia, diantaranya berjiwa seni (Artistik). Dengan adanya ciri ini tentunya tidak mengherankan kalau kebiasaan orang Indonesia yang hobi mengoleksi barang seni termasuk batu akik sudah ada sejak lama, namun ketika itu peredarannya masih sporadis dan hanya terbatas pada kalangan tertentu saja.

Awal mula batu akik mulai menjadi pusat perhatian publik nusantara baik penjual, kolektor dan masyarakat umum ditengarai setelah Presiden SBY menghadiahkan batu bacan (chrysocolla) kepada Presiden Barack Obama. Pemberitaan kemudian meluas, dan berkat kemajuan teknologi informasi yang memudahkan setiap orang dari segenap kalangan mengakses informasi mengenai serba – serbi batu akik, akhirnya banyak orang yang awalnya tidak hobi batu akik kini menjadi keranjingan batu akik dan dalam tempo singkat hobi memakai dan mengoleksi batu akik telah menjadi lifestyle dan tren masa kini. Bahkan mereka yang tidak memakai batu akik bisa jadi akan dipersepsikan ketinggalan zaman.

Keranjingan batu akik disadari atau tidak kini telah menjadi fenomena menarik untuk dibahasakan. Meluas dan meratanya hobi menggunakan serta mengoleksi batu akik di kalangan masyarakat tentunya menimbulkan suatu pertanyaan, Mengapa dan bagaimana hal tersebut bisa sampai terjadi ? Apakah semata-mata karena pengaruh kemudahan akses informasi ?

Tidak dipungkiri bahwa akses informasi yang cepat, berlangsung realtime dan terus menerus memang memegang kendali dalam membentuk opini massa, namun opini massa semata tidak cukup untuk membangkitkan reaksi massa secara masif dan berantai. Untuk bisa mengurai dan mendalami hal ini penulis akan mencoba menganalisis secara singkat dengan menawarkan instrumen yang dikenal dalam disiplin ilmu psikologi sosial, sebuah teori yang dikenal dengan Teori Konformitas. Meskipun penulis bukan seorang ahli di bidang psikologi, namun paling tidak melalui bahan bacaan dari berbagai sumber, instrumen tersebut relevan digunakan untuk memetakan gejala sosial yang ada.

Konformitas pertama kali dikenalkan oleh Solomon Asch, yang penelitian klasiknya mengindikasikan bahwa banyak orang akan mengikuti tekanan sosial dari kelompok yang bersuara bulat. Konformitas sosial menurut Rongjun dan Sun (2013) adalah fenomena ketika seseorang mengubah perilaku dan sikapnya untuk menyamakan perilaku kelompok mayoritasnya. Baron dan Byrne (2005) mengatakan bahwa konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Myers (2005), konformitas adalah suatu perubahan dalam bertingkah laku atau kepercayaan untuk menyamakan tingkah laku dengan yang lainnya sebagai hasil dari tekanan kelompok yang bersifat nyata maupun yang dibayangkan.

Mengapa manusia cenderung melakukan konformitas ? Baron dan Byrne (2005) mengemukakan bahwa kecenderungan manusia untuk melakukan konformitas dilatarbelakangi oleh keinginan untuk disukai oleh orang lain dan keinginan untuk menjadi benar atau tepat mengenai dunia sosial. Kedua motif tersebut tercermin dalam dua jenis pengaruh sosial yang berbeda, antara lain :

1.Pengaruh sosial normatif (normative social influence), yaitu keinginan atau kebutuhan manusia untuk disukai dan rasa takut akan penolakan. Pengaruh sosial ini meliputi perubahan tingkah laku untuk memenuhi harapan orang  lain;

2.Pengaruh sosial informasional (informational social influence), yaitu keinginan manusia untuk merasa benar, artinya kecenderungan manusia untuk bergantung pada orang lain sebagai sumber informasi tentang berbagai aspek dunia sosial.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Solomon Asch pada tahun 1951 dan 1955, sekiranya dapat digunakan untuk membantu lebih memahami apa yang dimaksud dengan konformitas. Dalam penelitian tersebut partisipan diminta untuk mengindikasikan yang mana dari ketiga garis pembanding yang sama persis dengan sebuah garis standar. Beberapa orang dari partisipan adalah asisten peneliti yang tidak diketahui oleh partisipan lainnya. Pada saat-saat yang disebut sebagai critical trials, para asisten peneliti tersebut dengan sengaja menjawab salah pertanyaan yang diajukan. Mereka secara bulat memilih garis yang salah sebagai garis yang sesuai dengan garis standar. Lebih dari itu, mereka menyatakan jawaban salah tersebut terlebih dahulu sebelum partisipan yang lain memberikan jawaban. Hasilnya adalah bahwa ternyata partisipan yang lain kemudian terpengaruh dan memberikan jawaban yang sama dengan yang dikatakan oleh para asisten peneliti tersebut. Pada titik ini terjadilah apa yang disebut dengan konformitas.

Teori diatas bila dikorelasi dengan fenomena keranjingan batu akik yang dialami oleh mayoritas masyarakat kita belakangan ini, meskipun bukan sebuah kesimpulan akhir, tidak berlebihan jika fenomena tersebut diasumsikan berangkat dari proses sosial yang identik sebagaimana diuraikan diatas. Awalnya hanya merupakan kebiasaan kalangan tertentu, kemudian dipicu oleh suatu peristiwa extra ordinary (presiden SBY menghadiahkan batu bacan kepada Barack Obama), disusul dengan pemberitaan di media yang memungkinkan diakses oleh masyarakat secara luas dan real time tentang berbagai serba serbi batu akik, kemudian membentuk opini massa, lalu kemudian menggerakkan bilangan orang dalam jumlah yang cukup untuk melakukan tekanan sosial baik secara nyata maupun imajiner, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan konformitas sosial pecinta batu akik.

Sebagai benda seni, batu akik pada dasarnya tidak memiliki nilai intrinsik sebagaimana halnya batu mulia (intan dan permata) apalagi logam mulia (emas dan perak). Bernilai atau tidaknya batu akik ditentukan oleh subjek luar yang tidak lain adalah kolektor maupun seniman batu akik itu sendiri. Merekalah yang memiliki peranan penting dalam menentukan nilai, menaikkan maupun menjatuhkan harga batu akik meskipun dengan parameter yang irrasional. Namun secara pragmatis terlepas dari penilaian positif dan negatif, selama itu halal dan dapat memberikan margin ekonomi, sah – sah saja orang berkecimpung dalam dunia perbatu-akik-an, baik sebagai kolektor maupun “pandai” batu akik.

Namun demikian menurut penulis, dibalik fenomena keranjingan batu akik itu ada fenomena yang jauh lebih luar biasa. Ibarat Fenomena dibalik fenomena. Bahwa fenomena menjamurnya batu akik juga sekaligus menjadi fakta yang membuktikan bahwa watak budaya bangsa indonesia menekankan pada keanggotaan kelompok atau budaya kolektif, dimana hampir sebagian besar individu (entitas) yang termasuk dalam domain budaya tersebut merasa lebih nyaman jika berperilaku sebagaimana mayoritas orang berperilaku. Apa yang istimewa dari eksistensi budaya kolektif ?

Eksistensi budaya kolektif jika disadari dan dicermati secara saksama, memiliki kekuatan dan energi sosial luar biasa untuk melakukan rekayasa sosial (social enginering). Seandainya saja budaya kolektif tersebut bisa diarahkan untuk menciptakan konformitas yang tidak hanya sekedar mengimitasi kebiasaan tapi juga dapat mengimitasi kreatifitas. Seandainya saja budaya kolektif itu bisa menjadi instrumen dalam melakukan rekayasa sosial untuk menciptakan konformitas sosial dalam meningkatkan minat baca pada generasi muda, melakukan penemuan – penemuan sederhana untuk keperluan rumah tangga, berangkat dari hal-hal positif yang sederhana. Coba bayangkan apa yang akan terjadi ? Mungkin dalam jangka waktu yang singkat niscaya Indonesia Akan Menjadi Negara Maju karena ditopang oleh lebih dari 200 juta penduduk bangsa yang kreatif.

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032RAHAYU_GININTASASI/Pengantar_Psikologi_Sosial_IIx.pdf

http://psikologi.ub.ac.id/wp-content/uploads/2014/11/HUBUNGAN-ANTARA-KONFORMITAS-DENGAN-KECENDERUNGAN-GAYA-HIDUP-HEDONIS-PADA-HIJABERS-COMMUNITY-DI-KOTA-MALANG.pdf, Hal. 4

Ibid.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun