Mohon tunggu...
Muhammad Arif Wibowo
Muhammad Arif Wibowo Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru, lulusan Universitas Negeri Yogyakarta

Mengajar di salah satu SMA Swasta Kab. Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka, Perlukah?

6 September 2022   16:08 Diperbarui: 6 September 2022   16:09 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebuah perubahan atau inovasi dalam berbagai hal tentu saja perlu disambut dan perlu diapresiasi. Bergitu juga dengan inovasi di bidang pendidikan. Munculnya Kurikulum Merdeka menjadi angin segar di dalam dunia pendidikan kita. Perubahan kurikulum yang dilakukan oleh kemendikbudristek ini tidak asal-asalan. 

Sudah banyak bukti nyata, dan juga hasil karya kolaboratif dari Sekolah Penggerak yang dijadikan sebagai model pengimplementasian Kurikulum Merdeka. Hanya saja pengimplementasian ini masih belum diwajibkan untuk digunakan di seluruh sekolah. 

Sifatnya sampai saat ini masih tahap uji coba, sebab pelatihan dan seminar berbagi praktik baik pembelajaran berbasis kurikulum merdeka masih terus disosialisasikan. Lalu bagaimana dengan sekolah di tempat kita bekerja?

Saat ini, di sekolah tempat saya bekerja masih menggunakan kurikulum 2013. Banyak faktor yang membuat sekolah kami belum mencoba kurikulum merdeka di tahun ajaran 2022/2023. 

Salah satunya adalah para guru (SDM) sekolah kami masih minim pengalaman, dan juga minim motivasi untuk menjalankan Kurikulum Merdeka. Kepala sekolah kami pun pada saat penentuan kurikulum belum memberikan instruksi untuk menggunakan Kurikulum Merdeka. Adanya kewenangan untuk bisa memilih kurikulum apa yang akan diterapkan di masing-masing sekolah membuat sekolah kami masih bertahan dengan kurikulum yang lama.

Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang kiranya perlu disiapkan agar sekolah kita mampu untuk menerapkan Kurikulum Merdeka. Pertama, sekolah perlu seorang inisiator yang peduli dengan sistem kurikulum yang dijalankan di sekolah. 

Jika tidak ada yang peduli, maka kurikulum akan jalan di tempat. Kepala Sekolah adalah orang yang pertama dan terdepan yang seharusnya mengambil alih kemudi sistem kurikulum di sekolah, dan terbuka dengan inovasi kurikulum yang ditawarkan pemerintah. Meski memang memiliki wakil-wakil di sekolah, peran Kepala Sekolah adalah mutlak.

Jika kepsek cenderung pesimis dan ragu menerapkan Kurikulum Merdeka karena SDM guru yang kurang, kepsek bisa mengirimkan perwakilan guru untuk mengikuti pelatihan terkait Kurikulum Merdeka. 

Perwakilan guru ini nantinya diharapkan mampu membagi pengalamannya kepada teman-temannya di sekolah. Kemudian, jika mengirimkan perwkilan guru terlalu memberatkan sekolah, kiranya sekolah perlu mengadakan In House Training (IHT).  Seorang ahli didatangkan ke sekolah untuk mempekenalaan pemahaman sekaligus melatih kesiapan guru-guru terkait Kurikulum Merdeka.

Kemudian, jika memang sama sekali tidak bisa melakukan IHT di sekolah, langkah terakhir adalah, kita sebagai guru mengembangkan kemampuan diri sendiri den mencari pelatihan sendiri, baik secara offline maupun online. Saat ini banyak sekali pelatihan dan webinar terkait Kurikulum Merdeka yang disosialisasikan melalui grup-grup MGMP.

Selain itu, kita bisa juga mengunduh sebuah aplikasi (platform) yang bernama Merdeka Mengajar. Aplikasi tersebut diluncurann oleh Kemendikbudristek untuk membantu tenaga pendidik mendalami dan belajar secara mandiri Kurikulum Merdeka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun