Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Dodol Dawet dalam Pernikahan Jawa: Simbol Cinta, Rezeki, dan Restu Keluarga

26 September 2025   19:45 Diperbarui: 26 September 2025   19:52 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi dodol dawet dalam prosesi pernikahan adat Jawa (Dok. Pribadi) 

Dalam pernikahan adat Jawa, ada satu prosesi yang selalu ditunggu-tunggu oleh para tamu sekaligus menjadi ciri khas yang membedakan dengan tradisi lain, yakni dodol dawet. Sekilas, prosesi ini tampak sederhana, bahkan sering dianggap sekadar hiburan kecil di sela-sela rangkaian acara. 

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, ternyata dodol dawet sarat dengan makna, doa, dan filosofi yang begitu dalam tentang kehidupan rumah tangga, cinta kasih, dan restu orang tua.

Tradisi dodol dawet biasanya dilakukan setelah acara siraman atau menjelang panggih pengantin. Orang tua dari pihak pengantin perempuan mengambil peran utama dalam prosesi ini. 

Sang ibu bertugas melayani tamu dengan menyendokkan dawet ke dalam wadah, sementara sang ayah memayungi istri sekaligus menerima pembayaran dari para tamu. 

Hal yang membuatnya unik adalah pembayaran tersebut tidak menggunakan uang, melainkan kereweng, atau pecahan genting tanah liat. Para tamu pun dengan penuh antusias berbaris untuk membeli dawet dengan kereweng itu, menciptakan suasana riuh, hangat, dan penuh keakraban.

Dari luar, dodol dawet mungkin terlihat sebagai prosesi yang penuh canda dan tawa. Tamu yang berdesakan membeli dawet dengan kereweng sering kali membuat suasana meriah, bahkan tak jarang memunculkan guyonan-guyonan ringan. Akan tetapi, di balik suasana meriah itu, tersimpan makna yang jauh lebih dalam. 

Dawet yang manis melambangkan doa agar rumah tangga pasangan pengantin selalu diberkahi kebahagiaan dan keberlimpahan rezeki. Campuran gula merah, santan, dan butiran dawet yang berpadu di dalam gelas menjadi simbol penyatuan dua insan yang kini resmi mengikat janji suci pernikahan, lengkap dengan segala perbedaan dan kekurangan yang dimiliki masing-masing.

Sementara kereweng yang digunakan sebagai alat tukar justru membawa pesan filosofis yang kuat. Pecahan genting dari tanah liat mengingatkan bahwa manusia berasal dari tanah dan kelak akan kembali ke tanah. 

Pesan ini tidak sekadar simbol, melainkan refleksi tentang siklus kehidupan yang sederhana. Dari kereweng itu, setiap orang diingatkan untuk tetap rendah hati, bersyukur atas setiap rezeki yang datang, dan menjaga keseimbangan hidup di dunia yang hanya sementara.

Peran orang tua dalam prosesi ini juga menyimpan makna penting. Sang ibu yang membagikan dawet mencerminkan kasih sayang dan perhatian seorang ibu yang tak pernah habis. Melayani dengan hati, sebagaimana kelak seorang istri harus mengelola rumah tangga dengan penuh cinta. 

Orangtua pengantin berbagi peran dalam tradisi dodol dawet (Dok. Pribadi) 
Orangtua pengantin berbagi peran dalam tradisi dodol dawet (Dok. Pribadi) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun