Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena Job Hugging di Kalangan Generasi Muda

11 September 2025   23:41 Diperbarui: 11 September 2025   23:41 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (freepik)

Fenomena baru bernama job hugging kini ramai dibicarakan, terutama di kalangan generasi muda. Istilah ini menggambarkan kondisi ketika seseorang memilih tetap bertahan di pekerjaannya meskipun merasa tidak puas, tidak berkembang, atau bahkan stres, hanya demi satu hal: rasa aman.

Jika dulu pindah kerja identik dengan kesempatan meraih gaji lebih besar, pengalaman baru, atau peningkatan karier, kini banyak pekerja justru berpikir ulang. Generasi milenial dan Gen Z yang dikenal ambisius, kreatif, serta haus pengalaman, kini lebih berhati-hati. Mereka terpaksa menahan diri di satu tempat kerja bukan karena loyalitas, melainkan sebagai strategi bertahan hidup di tengah ketidakpastian ekonomi.

Mengapa Job Hugging Terjadi?

Ada beberapa alasan kuat yang melatarbelakangi meluasnya fenomena ini. Pertama, kondisi ekonomi yang tidak menentu. Harga kebutuhan sehari-hari terus meningkat, sementara daya beli masyarakat melemah. Generasi muda, yang sebagian besar masih menata hidup, merasakan langsung beratnya biaya hidup.

Kedua, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantui banyak sektor. Beberapa tahun terakhir, berita mengenai gelombang PHK massal di industri teknologi, manufaktur, hingga ritel membuat banyak orang was-was. Mendapatkan pekerjaan baru bukanlah perkara mudah, sehingga lebih aman jika tetap bertahan meski pekerjaan saat ini tidak memuaskan.

Ketiga, adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Banyak anak muda yang bermimpi bekerja sesuai passion, namun begitu masuk dunia kerja mereka disadarkan bahwa kesempatan tidak selalu sejalan dengan keinginan. Akhirnya, demi menjaga kestabilan finansial, mereka memilih tetap bertahan.

Potret Milenial dan Gen Z

Generasi milenial dan Gen Z merupakan kelompok paling rentan terjebak dalam job hugging. Alasannya sederhana: mereka berada pada fase kehidupan yang penuh tuntutan. Mulai dari membayar cicilan, mempersiapkan biaya menikah, hingga mendukung kebutuhan keluarga.

Bagi sebagian anak muda, keluar dari pekerjaan tanpa kepastian baru ibarat berjudi dengan masa depan. Apalagi mencari kerja baru di era kompetitif seperti sekarang membutuhkan keterampilan tambahan, jaringan yang luas, dan kesabaran menghadapi proses rekrutmen yang panjang.

Di media sosial, tak jarang kita menemukan curhatan pekerja muda yang ingin resign tapi terhalang realita. "Capek kerja, tapi kalau resign nanti mau makan apa?" Kalimat sederhana ini mencerminkan betapa beratnya dilema job hugging bagi generasi muda.

Dampak Job Hugging bagi Pekerja

Bertahan di pekerjaan yang tidak memuaskan tentu ada konsekuensinya. Dampak pertama adalah turunnya kepuasan kerja. Pekerja yang merasa terjebak cenderung bekerja sekadar menjalani rutinitas, tanpa semangat atau motivasi tinggi.

Kedua, berkembangnya rasa frustrasi. Ketika kesempatan untuk naik jabatan atau belajar hal baru terbatas, pekerja mudah merasa stagnan. Kondisi ini lama-lama bisa memicu stres, bahkan burnout.

Ketiga, hilangnya potensi diri. Generasi muda yang penuh ide dan kreativitas justru tidak bisa menyalurkan kemampuannya secara maksimal. Akibatnya, mereka hanya sekadar "ada" di kantor, tanpa kontribusi berarti bagi pengembangan perusahaan maupun diri sendiri.

Dampak bagi Perusahaan

Dari sisi perusahaan, fenomena job hugging punya sisi ganda. Di satu sisi, angka turnover terlihat rendah sehingga perusahaan tidak perlu repot merekrut pegawai baru. Namun di sisi lain, ada bahaya tersembunyi: rendahnya keterlibatan karyawan (employee engagement).

Karyawan yang bertahan karena terpaksa biasanya tidak memberikan performa terbaik. Inovasi mandek, suasana kerja terasa hambar, dan produktivitas cenderung stagnan. Perusahaan bisa jadi "aman" dari kehilangan pegawai, tetapi justru kehilangan semangat kolektif yang seharusnya mendorong kemajuan.

Apa yang Bisa Dilakukan Pekerja?

Bagi pekerja muda, job hugging memang terasa seperti pilihan realistis. Namun bukan berarti jalan buntu. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak negatifnya.

  1. Mengembangkan keterampilan baru.
    Meski berada di pekerjaan yang tidak ideal, pekerja tetap bisa belajar hal baru. Mengikuti kursus online, membaca buku, atau mempraktikkan keterampilan tambahan bisa menjadi bekal jika suatu saat memutuskan pindah kerja.

  2. Membangun jaringan.
    Relasi adalah kunci di dunia kerja. Aktif mengikuti komunitas profesional atau menghadiri seminar bisa membuka peluang baru.

  3. Memanfaatkan waktu luang untuk side hustle.
    Banyak generasi muda kini mencoba pekerjaan sampingan sebagai cara menyalurkan passion sekaligus menambah pendapatan.

  4. Menjaga kesehatan mental.
    Penting untuk tidak membiarkan pekerjaan yang tidak memuaskan menggerus semangat hidup. Aktivitas positif, olahraga, atau sekadar istirahat cukup bisa membantu menjaga keseimbangan.

Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan?

Perusahaan juga punya peran besar. Jika ingin menghindari karyawan yang sekadar "bertahan", ada beberapa langkah yang bisa dilakukan.

  • Memberikan kesempatan pengembangan karier. Karyawan akan lebih termotivasi jika melihat ada peluang naik jabatan atau mendapatkan pelatihan.
  • Menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Budaya kerja yang suportif membuat karyawan merasa dihargai.
  • Menawarkan fleksibilitas. Jam kerja fleksibel atau opsi kerja jarak jauh bisa meningkatkan kepuasan kerja, terutama bagi generasi muda yang menghargai keseimbangan hidup.

Antara Stabilitas Finansial dan Kepuasan Kerja

Fenomena job hugging sejatinya adalah potret situasi dunia kerja hari ini. Menggambarkan dilema generasi muda yang ingin berkembang namun harus berhadapan dengan realitas ekonomi yang keras.

Banyak dari anak muda tidak benar-benar bahagia di pekerjaannya, tapi tetap bertahan karena kebutuhan ekonomi. Pilihan ini memang berat, tapi juga wajar. Setidaknya, ia menunjukkan bahwa bertahan kadang lebih realistis daripada berjudi dengan ketidakpastian.

Bertahan di pekerjaan yang tidak memuaskan bukanlah pilihan mudah, tetapi seringkali menjadi langkah paling aman. Bagi sebagian orang, keamanan finansial lebih penting daripada kepuasan kerja.

Namun, kita juga perlu menyadari bahwa hidup bukan sekadar bertahan. Jika terlalu lama terjebak dalam job hugging, kita bisa kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan menemukan kebahagiaan sejati dalam pekerjaan.

Pada akhirnya, setiap orang perlu menimbang dengan bijak: kapan harus bertahan, dan kapan saatnya melangkah. Bertahan boleh saja, tetapi jangan sampai berhenti bermimpi dan berusaha mencari jalan yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun