Hasil dari Kebangkitan Nasional dapat dirasakan dengan makin membaiknya kondisi manusia Indonesia. Kalimat ini bukan sekadar pengantar penuh semangat, melainkan sebuah cermin yang memantulkan bagaimana perjuangan satu abad lalu masih berdampak hingga hari ini.Â
Pendidikan yang dahulu menjadi hak istimewa kaum priyayi, kini telah menjadi bagian dari hak dasar seluruh rakyat Indonesia. Kita mungkin lupa bahwa tak selamanya kita bisa duduk di bangku sekolah, membaca buku di perpustakaan, atau menulis di media sosial dengan kebebasan dan kemampuan seperti sekarang. Semua itu adalah buah dari benih Kebangkitan Nasional yang ditanam dengan darah dan kesadaran.
Kebangkitan Nasional bukan hanya tentang politik. Ia adalah gerakan sadar akan eksistensi bangsa. Ia lahir dari kegelisahan kaum terpelajar pada awal abad ke-20, ketika ketimpangan begitu nyata di tanah Hindia Belanda.Â
Pendidikan hanya boleh dinikmati kalangan bangsawan dan anak-anak Belanda. Sementara rakyat jelata, mayoritas pribumi, tetap dalam kebodohan yang disengaja---dipelihara oleh sistem kolonial agar tak tumbuh kesadaran.
Namun sejarah selalu menyimpan bara dalam sekam. Pada tahun 1908, muncul organisasi pertama yang benar-benar digagas dan dikelola oleh kaum terpelajar pribumi: Budi Utomo. Inilah momen lahirnya Kebangkitan Nasional.Â
Sebuah tonggak sejarah yang tak sekadar menandai lahirnya organisasi, tetapi juga bangkitnya kesadaran literasi dan cita-cita kebangsaan. Literasi, dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, menjadi alat melawan ketidakadilan.
Bayangkan, menurut Sensus Hindia Belanda tahun 1930, dari seluruh penduduk pribumi Hindia Belanda, hanya 6,44% yang mampu membaca huruf Latin. Sebuah angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan etnis Eropa yang mencapai 75,16%, Tionghoa 28,92%, dan Timur Asing 22,42%. Tetapi dari angka kecil itu, lahirlah orang-orang besar yang menyalakan obor kebangsaan.
Mereka tidak menunggu angka literasi tinggi dulu baru bergerak. Justru dalam keterbatasan, mereka menulis, mencetak selebaran, menerbitkan surat kabar, dan mendirikan organisasi yang menjadi wadah perjuangan. Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, TamanSiswa, dan lainnya lahir dalam semangat yang sama: menjadikan pendidikan dan literasi sebagai jalan merdeka.
Pers lokal seperti Medan Prijaji, Kaum Muda, dan Oetoesan Hindia bukan sekadar surat kabar. Ia menjadi corong perubahan, wadah pemikiran, tempat diskusi, dan ruang pembentukan kesadaran kolektif sebagai bangsa.Â
Para tokoh pergerakan seperti Tirto Adhi Soerjo, Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, dan Tjipto Mangoenkoesoemo adalah penulis-penulis yang tak hanya pandai merangkai kata, tapi juga mampu merangkul semangat rakyat.
Mereka sadar, sebelum memerdekakan negara, yang harus dimerdekakan lebih dulu adalah pikiran rakyat. Dan itu dimulai dari huruf demi huruf, kalimat demi kalimat, artikel demi artikel yang mereka tulis.Â
Literasi menjadi senjata untuk menumbangkan penindasan. Tak heran jika banyak tokoh pergerakan diasingkan, dibuang ke luar Jawa, bahkan dipenjara karena tulisannya dianggap menghasut. Tapi sejarah justru mencatat bahwa dari pengasingan itulah lahir gagasan besar tentang bangsa dan kemerdekaan.
Kebangkitan Nasional menandai bahwa literasi adalah fondasi dari kebebasan. Pendidikan bukan lagi urusan golongan tertentu, tapi hak semua anak bangsa. Dan kini, seratus tahun lebih sejak bara itu menyala, kita telah melihat hasilnya.
Berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2024, angka melek huruf Latin di Indonesia mencapai 96,29%. Artinya, dari setiap 100 penduduk Indonesia, 96 di antaranya dapat membaca dan menulis dalam huruf Latin. Suatu pencapaian luar biasa jika dibandingkan dengan angka 6,44% yang dimiliki kaum pribumi di masa kolonial.
Lebih dari itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2024 mencapai angka 75,02. Ini menandakan bahwa kualitas hidup manusia Indonesia, yang diukur dari kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak, semakin meningkat.Â
Dan kita tahu, tidak ada pembangunan manusia tanpa pendidikan. Tidak ada pendidikan tanpa literasi. Tidak ada literasi tanpa kebebasan berpikir dan semangat belajar.
Semua ini bukan hasil kerja satu malam. Ini adalah akumulasi dari perjuangan panjang---dimulai dari masa-masa ketika menulis artikel bisa berujung pengasingan. Dari masa-masa ketika belajar membaca harus dilakukan diam-diam, karena sekolah untuk pribumi sangat terbatas.
Kini, anak-anak di pelosok bisa membaca cerita rakyat dari aplikasi digital. Mahasiswa bisa menulis esai dan menyebarkannya lewat blog atau media sosial. Guru bisa mengajar lewat platform daring. Semua ini bagian dari hasil Kebangkitan Nasional yang terus bertransformasi.
Namun, capaian ini bukan untuk dirayakan dalam diam. Ia harus dijaga dan diteruskan. Karena di balik angka 96% melek huruf, masih ada tantangan literasi kritis yang belum tuntas. Banyak yang bisa membaca, tetapi belum terbiasa menganalisis.Â
Kebangkitan Nasional telah membukakan pintu, namun langkah kita tidak boleh berhenti di ambang pintu. Kita harus masuk ke dalam, mengisi ruang-ruang pengetahuan dengan semangat baru. Dunia literasi Indonesia hari ini memanggil generasi muda untuk meneruskan semangat para pendiri bangsa---bukan lagi melawan kolonialisme asing, tetapi melawan kebodohan dan ketidakpedulian.
Kita bisa mulai dari hal kecil. Menulis catatan harian. Membaca buku. Bisa juga membuat puisi tentang kampung halaman. Menerbitkan tulisan tentang keresahan sosial. Atau sekadar berdiskusi sehat di forum digital. Semua itu bagian dari literasi. Dan literasi adalah bentuk cinta kepada bangsa.
Tak berlebihan jika kita sebut bahwa hasil paling nyata dari Kebangkitan Nasional adalah terciptanya manusia Indonesia yang berpikir, berkarya, dan berkontribusi. Mereka yang melek literasi, bukan sekadar bisa membaca, tetapi juga bisa memahami dunia dan mengubahnya.
Jika dulu Tirto Adhi Soerjo menulis di Medan Prijaji untuk menyadarkan rakyat, hari ini kita bisa menulis di platform digital yang dibaca jutaan orang. Jika dulu Ki Hajar Dewantara membangun Taman Siswa untuk membebaskan pikiran anak bangsa, kini kita punya ribuan sekolah yang bisa jadi tempat tumbuhnya ide-ide baru.
Setiap kali kita menulis dengan nurani, membaca dengan kesadaran, dan berpikir dengan logika, kita sesungguhnya sedang meneruskan api Kebangkitan Nasional. Kita sedang menjawab panggilan sejarah, bahwa bangsa ini tidak akan pernah maju tanpa rakyat yang terdidik.
Jadi, saat kita memperingati Kebangkitan Nasional, mari kita ingat bahwa perjuangan belum selesai. Literasi harus tetap diperjuangkan. Pendidikan harus tetap diperluas. Kesadaran harus terus dibangkitkan. Dan kita semua adalah bagian dari gerakan besar ini---gerakan yang dimulai dari 6% dan kini menjelma menjadi 96%. Gerakan yang dulu dilakukan oleh segelintir orang, kini bisa dilakukan oleh siapa pun yang mencintai negeri ini.
Ini hasil Kebangkitan Nasional yang sesungguhnya: bukan hanya berdirinya negara, tapi tumbuhnya manusia Indonesia yang merdeka dalam pikiran, adil dalam tindakan, dan cerdas dalam membaca zaman.
Kini, setelah satu abad lebih sejak Kebangkitan Nasional, kita telah melampaui angka literasi dasar. Â Orang Indonesia telah diberi alat paling dasar untuk mengakses ilmu dan informasi yaitu kemampuan membaca.
Namun, pertanyaannya sekarang bukan lagi "apakah kita bisa membaca?" melainkan, "apa yang kita lakukan setelah bisa membaca?" Literasi hari ini tak cukup hanya sebatas mengenali huruf dan kata. Tugas besar generasi kini adalah naik ke jenjang berikutnya: memahami, menganalisis, hingga mengkritisi informasi.
Di tengah gempuran dunia global yang penuh dengan banjir data, disinformasi, dan manipulasi opini, kebangkitan literasi harus naik kelas menjadi kebangkitan kesadaran kritis. Kita tidak hanya butuh pembaca, tetapi juga pembelajar yang berpikir, menimbang, dan bertindak. Inilah tantangan zaman: menjadikan literasi bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan kesadaran etis dan intelektual.
Maka, kebangkitan nasional tidak selesai di masa lalu. Ia menunggu untuk dihidupkan kembali hari ini---melalui semangat literasi yang transformatif, inklusif, dan berdaya saing global. Kita semua memegang obor itu sekarang. Tinggal bagaimana kita menjaganya tetap menyala.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI