Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kebangkitan Dimulai dari Melek Literasi: Perjalanan Panjang Literasi Indonesia

20 Mei 2025   16:48 Diperbarui: 20 Mei 2025   17:24 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendiri Organisasi Budi Utomo dari pelajaran STOVIA (kemdikbud.go.id via Kompas.com)

Para tokoh pergerakan seperti Tirto Adhi Soerjo, Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, dan Tjipto Mangoenkoesoemo adalah penulis-penulis yang tak hanya pandai merangkai kata, tapi juga mampu merangkul semangat rakyat.

Mereka sadar, sebelum memerdekakan negara, yang harus dimerdekakan lebih dulu adalah pikiran rakyat. Dan itu dimulai dari huruf demi huruf, kalimat demi kalimat, artikel demi artikel yang mereka tulis. 

Literasi menjadi senjata untuk menumbangkan penindasan. Tak heran jika banyak tokoh pergerakan diasingkan, dibuang ke luar Jawa, bahkan dipenjara karena tulisannya dianggap menghasut. Tapi sejarah justru mencatat bahwa dari pengasingan itulah lahir gagasan besar tentang bangsa dan kemerdekaan.

Kebangkitan Nasional menandai bahwa literasi adalah fondasi dari kebebasan. Pendidikan bukan lagi urusan golongan tertentu, tapi hak semua anak bangsa. Dan kini, seratus tahun lebih sejak bara itu menyala, kita telah melihat hasilnya.

Berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2024, angka melek huruf Latin di Indonesia mencapai 96,29%. Artinya, dari setiap 100 penduduk Indonesia, 96 di antaranya dapat membaca dan menulis dalam huruf Latin. Suatu pencapaian luar biasa jika dibandingkan dengan angka 6,44% yang dimiliki kaum pribumi di masa kolonial.

Lebih dari itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2024 mencapai angka 75,02. Ini menandakan bahwa kualitas hidup manusia Indonesia, yang diukur dari kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak, semakin meningkat. 

Dan kita tahu, tidak ada pembangunan manusia tanpa pendidikan. Tidak ada pendidikan tanpa literasi. Tidak ada literasi tanpa kebebasan berpikir dan semangat belajar.

Semua ini bukan hasil kerja satu malam. Ini adalah akumulasi dari perjuangan panjang---dimulai dari masa-masa ketika menulis artikel bisa berujung pengasingan. Dari masa-masa ketika belajar membaca harus dilakukan diam-diam, karena sekolah untuk pribumi sangat terbatas.

Kini, anak-anak di pelosok bisa membaca cerita rakyat dari aplikasi digital. Mahasiswa bisa menulis esai dan menyebarkannya lewat blog atau media sosial. Guru bisa mengajar lewat platform daring. Semua ini bagian dari hasil Kebangkitan Nasional yang terus bertransformasi.

Namun, capaian ini bukan untuk dirayakan dalam diam. Ia harus dijaga dan diteruskan. Karena di balik angka 96% melek huruf, masih ada tantangan literasi kritis yang belum tuntas. Banyak yang bisa membaca, tetapi belum terbiasa menganalisis. 

Kebangkitan Nasional telah membukakan pintu, namun langkah kita tidak boleh berhenti di ambang pintu. Kita harus masuk ke dalam, mengisi ruang-ruang pengetahuan dengan semangat baru. Dunia literasi Indonesia hari ini memanggil generasi muda untuk meneruskan semangat para pendiri bangsa---bukan lagi melawan kolonialisme asing, tetapi melawan kebodohan dan ketidakpedulian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun