Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kebangkitan Dimulai dari Melek Literasi: Perjalanan Panjang Literasi Indonesia

20 Mei 2025   16:48 Diperbarui: 20 Mei 2025   17:24 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil dari Kebangkitan Nasional dapat dirasakan dengan makin membaiknya kondisi manusia Indonesia. Kalimat ini bukan sekadar pengantar penuh semangat, melainkan sebuah cermin yang memantulkan bagaimana perjuangan satu abad lalu masih berdampak hingga hari ini. 

Pendidikan yang dahulu menjadi hak istimewa kaum priyayi, kini telah menjadi bagian dari hak dasar seluruh rakyat Indonesia. Kita mungkin lupa bahwa tak selamanya kita bisa duduk di bangku sekolah, membaca buku di perpustakaan, atau menulis di media sosial dengan kebebasan dan kemampuan seperti sekarang. Semua itu adalah buah dari benih Kebangkitan Nasional yang ditanam dengan darah dan kesadaran.

Kebangkitan Nasional bukan hanya tentang politik. Ia adalah gerakan sadar akan eksistensi bangsa. Ia lahir dari kegelisahan kaum terpelajar pada awal abad ke-20, ketika ketimpangan begitu nyata di tanah Hindia Belanda. 

Pendidikan hanya boleh dinikmati kalangan bangsawan dan anak-anak Belanda. Sementara rakyat jelata, mayoritas pribumi, tetap dalam kebodohan yang disengaja---dipelihara oleh sistem kolonial agar tak tumbuh kesadaran.

Namun sejarah selalu menyimpan bara dalam sekam. Pada tahun 1908, muncul organisasi pertama yang benar-benar digagas dan dikelola oleh kaum terpelajar pribumi: Budi Utomo. Inilah momen lahirnya Kebangkitan Nasional. 

Sebuah tonggak sejarah yang tak sekadar menandai lahirnya organisasi, tetapi juga bangkitnya kesadaran literasi dan cita-cita kebangsaan. Literasi, dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, menjadi alat melawan ketidakadilan.

Bayangkan, menurut Sensus Hindia Belanda tahun 1930, dari seluruh penduduk pribumi Hindia Belanda, hanya 6,44% yang mampu membaca huruf Latin. Sebuah angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan etnis Eropa yang mencapai 75,16%, Tionghoa 28,92%, dan Timur Asing 22,42%. Tetapi dari angka kecil itu, lahirlah orang-orang besar yang menyalakan obor kebangsaan.

Bagan persentase melek huruf Hindia Belanda 1930 (Dok. Pribadi) 
Bagan persentase melek huruf Hindia Belanda 1930 (Dok. Pribadi) 

Mereka tidak menunggu angka literasi tinggi dulu baru bergerak. Justru dalam keterbatasan, mereka menulis, mencetak selebaran, menerbitkan surat kabar, dan mendirikan organisasi yang menjadi wadah perjuangan. Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, TamanSiswa, dan lainnya lahir dalam semangat yang sama: menjadikan pendidikan dan literasi sebagai jalan merdeka.

Pers lokal seperti Medan Prijaji, Kaum Muda, dan Oetoesan Hindia bukan sekadar surat kabar. Ia menjadi corong perubahan, wadah pemikiran, tempat diskusi, dan ruang pembentukan kesadaran kolektif sebagai bangsa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun