Ketika Ramadan tiba, ada satu suara khas yang selalu dinanti-nantikan di Indonesia : yakni suara bedug yang bertalu-talu menjelang waktu berbuka atau sahur. Suara ini bisa terdengar langsung dari masjid, di azan televisi, atau bahkan melalui siaran radio.Â
Suara ini bukan sekadar hanya penanda waktu, tetapi juga bagian dari budaya dan tradisi Islam di Nusantara. Namun, tahukah bahwa bedug sebenarnya bukan berasal dari budaya Islam? Yuk, kita telusuri asal-usulnya
Instrumen Musik Tradisional
Bedug adalah alat musik pukul berbentuk gendang besar yang menghasilkan suara berdentum keras dan bergema.Â
Biasanya, bedug tidak berdiri sendiri, tetapi ditemani oleh kentongan, alat pukul berbentuk silinder yang terbuat dari kayu, dengan lubang di tengahnya.
Di Indonesia, kentongan dan bedug menjadi ciri khas di masjid, terutama di masjid bersejarah di Indonesia. Kentongan sering digunakan untuk memberi pola ritmis sebelum atau setelah bedug ditabuh, menciptakan suara yang khas dan mudah dikenali oleh masyarakat.
Asal-usul Bedug
Bedug sebenarnya sudah ada di Nusantara jauh sebelum Islam masuk. Instrumen ini merupakan bagian dari budaya Hindu-Buddha yang banyak digunakan dalam berbagai upacara keagamaan dan ritual adat.Â
Dalam tradisi kepercayaan lama, bedug berfungsi sebagai alat komunikasi untuk mengumpulkan masyarakat atau menandai dimulainya suatu prosesi sakral.
Menurut berbagai sumber bedug pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tiongkok di bawah komando Laksamana Cheng Ho pada abad ke-15. Saat armadanya singgah di Indonesia, mereka membawa berbagai kebudayaan, termasuk tradisi menabuh genderang besar yang digunakan dalam keperluan militer dan upacara keagamaan.Â
Genderang ini berfungsi sebagai tanda peringatan dalam peperangan, juga sebagai penanda waktu dalam aktivitas sehari-hari masyarakat kala itu. Â (Aam, Masduki. Dkk., 2005: 125)Â
Seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara, para Wali Songo mengadopsi bedug sebagai bagian dari tradisi masjid. Bedug digunakan untuk menandai masuknya waktu salat.Â