Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Merindu Fiqih Lingkungan MUI (Solusi Krisis Ekologi Maluku Utara)

25 Januari 2018   15:27 Diperbarui: 25 Januari 2018   15:35 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fatwa MUI dan Fiqih LingkunganProvinsi Malut terlahir sebagai dampak konflik Ambon (1999) melahirkan trauma tersendiri bagi masyarakat. Konflik tersebut merupakan kekerasan komunal yang dipicu oleh masalah perbedaan identitas sosial, perebutan akses SDA dan kekuasaan / politik. Satu lembaga sosial yang berperan dalam rehabilitasi sosial pasca konflik tersebut adalah MUI.

Wadah MUI terbentuk sejak awal Reformasi di Malut dan sebagian besar kabupaten / kota. MUI merupakan wadah para ulama, cendekia dan penghulu ilmu ke-Islaman yang berperan secara struktural maupun kultural bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Fatwa MUI didamba masyarakat guna menghadapi permasalahan yang menimbulkan polemik, prasangka hingga potensi konflik dan perpecahan. Fatwa MUI ibarat 'obat herbal', ramuan organis bagi penyembuhan penyakit sosial maupun kegelisahan anak negeri.

Tersirat tujuh tugas MUI, antara lain sebagai : 1) pengawal bagi penganut agama Islam; 2) pemberi edukasi dan pembimbing bagi penganut agama Islam; 3) penjaring kader-kader yang lebih baik;

 4) pemberi solusi bagi masalah keagamaan di dunia internasional; 5) perumus konsep pendidikan Islam; 6) pengawal konten dalam media massa; dan 7) organisasi yang menjalankan kerja sama dengan organisasi keagamaan (https://id.wikipedia.org/).

Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) merupakan satu spirit baru MUI untuk solusi masalah bangsa terkait pengelolaan SDA di Nusantara. Tak jarang, pengelolaan SDA tersebut masih kurang tepat dan kadang justru menimbulkan bencana alam bahkan bencana sosial (konflik horisontal). Dengan fiqih lingkungan MUI, masyarakat didorong untuk turut menjaga kelestarian alam. 

Negara / pemerintah pun mendapat dukungan fatwa MUI dalam menggerakkan pembangunan nasional. Melalui fiqih lingkungan, Umat Islam dapat menjalankan peran kekhalifahan sekaligus penghambaan kepada Allah SWT sehingga terwujud peradaban etis di bumi (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur).

Sejak awal berdiri (1975) hingga 2011, MUI Pusat telah berfatwa lingkungan terkait pertambangan ramah lingkungan dan berkeputusan ijtima'ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang pengelolaan SDA (Amin,dkk.,2011). Tahun 2006, MUI Wilayah IV Kalimantan berfatwa tentang Penebangan Liar dan Pertambangan Tanpa Izin, Illegal Loggingdan Illegal Mining(No.127). 

Tahun 2014, MUI Pusat berfatwa No. 47 tentang Pengelolaan Sampah Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan dan No. 04 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem. Tahun lalu, MUI Pusat pun berfatwa No. 30 tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan serta Pengendaliannya. 

Sosialisasi dan Implementasi Fatwa: Dilema MUI

Menurut Dr.KH.Hamdan Rasyid, M.A., Pengurus MUI Pusat penanggap makalah penulis, MUI telah banyak mengembangkan kajian Fiqih Lingkungan. Beliau sepakat, masalah Fiqih Lingkungan adalah belum ada sosialisasi secara massif fatwa-fatwa tersebut ke MUI daerah termasuk Malut dan Ternate. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun