Ketika Miranda Priestly, sang pemimpin redaksi majalah fesyen paling berpengaruh dalam film The Devil Wears Prada (2006), melontarkan kalimat tajam:
"Please bore someone else with your questions" ("Tolong bosankan orang lain dengan pertanyaan-pertanyaanmu"), dunia seolah berhenti sejenak. Kalimat singkat itu tak hanya menusuk Andy Sachs---si asisten baru yang polos---tetapi juga menohok para penonton yang pernah bekerja di bawah figur pemimpin yang dingin, menuntut, dan tak kenal kompromi.
Namun di balik sinisme dan nada meremehkan, terselip pesan kuat tentang gaya kepemimpinan dan komunikasi di dunia profesional berkecepatan tinggi. Miranda bukan sekadar "bos kejam". Ia adalah simbol kepemimpinan efektif dalam sistem yang menuntut kesempurnaan absolut---meski dengan harga mahal: empati dan kemanusiaan.
Kepemimpinan dalam Bayang-Bayang Kekuasaan
Miranda Priestly adalah arketipe pemimpin otoriter dan visioner. Ia tahu persis apa yang diinginkannya, tidak mentoleransi kesalahan, dan menjadikan standar pribadi sebagai ukuran dunia. Gaya kepemimpinannya tampak keras, tapi juga memiliki fondasi yang jelas: kompetensi dan ketegasan.
Bagi Miranda, kesuksesan bukan hasil keberuntungan, tetapi disiplin, presisi, dan kecepatan berpikir. Dalam dunia mode yang menuntut perubahan tren setiap detik, ketegasan menjadi bahasa bertahan hidup. Maka, ucapannya kepada Andy bukan sekadar cemoohan---melainkan panggilan untuk naik level, untuk berhenti "menanyakan hal-hal kecil" dan mulai "memahami hal-hal besar".
Komunikasi Sebagai Alat Kekuasaan
Kalimat Miranda adalah contoh ekstrem dari komunikasi asertif yang berubah menjadi agresif. Ia tidak berusaha membangun dialog; ia mendikte arah percakapan. Dengan nada tenang namun mematikan, ia mengontrol ruang, waktu, dan energi komunikasinya.
Bagi banyak pemimpin modern, gaya Miranda bisa tampak kejam. Tapi dari sudut pandang organisasi dengan tekanan tinggi, komunikasinya efisien, langsung, dan bebas basa-basi. Ia menunjukkan prinsip penting: Dalam komunikasi kepemimpinan, kuasa sering kali terletak pada kemampuan untuk tidak menjelaskan terlalu banyak.
Miranda mengajarkan bahwa komunikasi bukan sekadar berbicara, tapi menegaskan posisi. Ia tahu kapan harus diam, kapan harus memotong pembicaraan, dan kapan satu kalimat cukup untuk menegaskan siapa yang memegang kendali.
Empati yang Tertelan Ekspektasi
Namun, kekuasaan selalu datang dengan konsekuensi. Di balik ketegasannya, Miranda adalah sosok kesepian, letih, dan rapuh. Film memperlihatkan sisi manusiawi yang jarang ia tunjukkan---ketika rumah tangganya berantakan dan kariernya bergantung pada citra sempurna yang harus ia pertahankan.
Di sinilah konflik moral muncul: apakah kepemimpinan tanpa empati masih bisa dianggap efektif? Miranda adalah contoh nyata pemimpin yang dihormati karena ketakutan, bukan karena cinta. Ia menginspirasi ketundukan, bukan keterikatan emosional. Namun ironisnya, dunia di sekelilingnya tetap berjalan berkat ketegasannya. Ia menjaga sistem agar tetap berfungsi---meskipun dirinya sendiri terluka oleh sistem itu.
Pelajaran dari Miranda Priestly
Dari perspektif psikologi kepemimpinan dan komunikasi organisasi, sosok Miranda membawa tiga pelajaran penting:
1. Efisiensi harus dibangun di atas kejelasan visi. Seorang pemimpin boleh keras, asalkan ia tahu arah yang dituju dan alasan di balik setiap keputusan.
2. Komunikasi adalah instrumen kekuasaan. Setiap kata, jeda, dan tatapan dapat membentuk persepsi tentang otoritas. Pemimpin yang kuat tahu kapan berbicara---dan kapan diam.
3. Kepemimpinan tanpa empati berisiko melahirkan kelelahan dan isolasi. Miranda memimpin dengan sempurna, tapi kehilangan koneksi emosional dengan manusia di sekitarnya. Ia menang secara profesional, tapi kalah secara pribadi.
Antara Ketegasan dan Kemanusiaan
Kutipan "Please bore someone else with your questions" bukan sekadar ekspresi kejengkelan. Ia adalah metafora dunia kerja modern---tempat waktu menjadi mata uang, dan kepekaan sering kalah oleh target.
Namun, di tengah ketegasan Miranda, kita belajar satu hal: kecerdasan emosional tetap menjadi inti kepemimpinan sejati. Pemimpin hebat bukan hanya yang mampu mengendalikan orang lain, tetapi yang juga mampu memahami batas dirinya sendiri.
Seperti halnya dunia mode yang selalu berubah, kepemimpinan juga butuh keseimbangan antara ketegasan dan empati, visi dan komunikasi, otoritas dan kemanusiaan.
Miranda Priestly mungkin tak peduli pada pertanyaan-pertanyaan kecil. Tapi lewat ketidaksabarannya, ia meninggalkan satu pertanyaan besar yang tak pernah usang: Â
"Apakah kekuasaan tanpa empati masih bisa disebut kepemimpinan?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI