Kota Medan dikenal sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia. Hiruk pikuk pembangunan, pusat perdagangan, ragam etnis, dan gaya hidup modern menjadikan Medan sebagai kota kosmopolitan yang dinamis. Namun, di balik gemerlapnya gedung-gedung tinggi dan modernisasi, terdapat pertanyaan yang sering muncul: di manakah posisi akar budaya lokal, khususnya budaya Melayu Deli, sebagai tuan rumah sejarah kota ini.
Perdebatan ini bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan refleksi tentang bagaimana sebuah kota membangun identitasnya di tengah arus globalisasi.
Medan dan Modernitas
Sebagai ibu kota Sumatera Utara, Medan tumbuh cepat sejak era Hindia Belanda. Jalan raya, rel kereta, dan pelabuhan Belawan menjadikan kota ini magnet migrasi berbagai etnis: Batak, Minangkabau, Jawa, Tionghoa, India, hingga Arab. Hasilnya, Medan menjadi mosaik multikultural yang kaya namun juga kompleks.
Modernitas kini semakin menonjol, pusat perbelanjaan, hotel mewah, kafe, dan kawasan bisnis menjadikan wajah Medan kerap dipersepsikan lebih modern ketimbang kultural. Identitas lokal kerap tertutupi oleh gaya hidup urban yang serba cepat dan instan.
Budaya Melayu Deli: Akar dan Identitas Kota
Sebelum menjadi kota perdagangan internasional, Medan lahir dari peradaban Melayu Deli. Dari sinilah budaya Melayu berkembang, mulai dari bahasa, kesenian, arsitektur, hingga adat istiadat.
Simbol budaya Melayu Deli yang wujud dalam warisan arsitektur, seni pertunjukan, kuliner tradisional serta tradisi sosial; seharusnya menjadi fondasi identitas kota Medan, bukan sekadar “hiasan sejarah”. Apa lagi mencampur adukkan berbagai kebudayaan, dengan tameng multikultural, semakin menciptakan Medan tanpa warna serta tercerabut dari akar dan identitas kota.
Perdebatan: Modern versus Lokal
Pertanyaan besar muncul, apakah Medan ingin tampil sebagai kota modern global atau kota yang berakar pada budaya lokalnya?