Hadis merupakan sumber hukum kedua bagi umat islam setelah Al-Quran. Secara bahasa hadis berarti khabar atau kabar, sedangkan secara istilah adalah segala hal yang di sandarkan kepada Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan, ataupun taqrir. Mempelajari ilmu yang berkaitan dengan hadis merupakan sebuah hal yang mendasar bagi seorang muslim yang harus di pahami oleh setiap individunya, terutama mengenai pemahaman tentang kualitas dari sebuah hadis.Â
Secara umum jika dilihat dari kesahihannya hadis terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu Hadis Sahih, Hadis Hasan, Hadis Dhaif (Lemah), dan Hadis Maudhu (Palsu). Mengutip jurnal Macam-Macam Hadis Dari Segi Kualitasnya oleh Sarbanun, syarat sebuah hadis dianggap sahih adalah sanadnya bersambung, periwayatnya selalu menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, dhabit (kuat hafalannya dan mampu menyampaikan hafalan kapan saja), tidak bertentangan dengan hadis lain, dan terhindar dari illat (kecacatan).
Membahas mengenai hadis dhaif, banyak orang-orang yang meragukan kesahihan dari jenis hadis tersebut karena di anggap lemah dalam periwayatan, isi, atupun sanadnya.Â
Hal ini kemudian yang banyak memunculkan berbagai sudut pandang tentang implementasi dari hadis dhaif dalam kehidupan sehari-hari. Hadis dhaif sendiri di bagi menjadi 3 yaitu hadis maqlub dimana yang sanad dan matannya berubah dikarenakan kurang kuatnya hafalan perawi, hadis mudraf yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan, dan hadis mushahhaf Terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf, lafadz, atau makna yang diubah, akibatnya maksud hadis menjadi jauh berbeda dari makna semula. Implementasi dari hadis dhaif sendiri dari sudut kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat tetapi pada umumnya hadis dhaif tetap bisa diaplikasikan untuk keutamaan amalan sunah (fadhailul a'mal), namun tidak bisa dipakai sebagai referensi hukum dan akidah.
Sedangkan menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan boleh berhujjah dengan hadis dhaif untuk keuatamaan amal asalkan memenuhi beberapa syarat, yaitu :
- Lemahnya tidak terlalu berat (dhaif jiddan). Oleh karena itu, tidak boleh mengamalkan hadis matruk, atau hadis yang diriwayatkan oleh orang yang dicurigai sebagai pendusta.
- Dasar amal yang ditunjukkan oleh hadis dhaif tersebut masih di bawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadis sahih atau hasan.
- Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber dari Nabi.
Salah satu ulama yang menerima Hadis Dhaif adalah Imam Ahmad bin Hanbal dengan catatan bahwa hadis tersebut bukan hadits maudhu atau palsu. Sebab menurut mereka sedhai'f-dha'ifnya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika. Sedangkan menurut pendapat mazhab Imam Hanafi, hadis Dhaif boleh di amalkan dalam keutamaan amal (Durar Al-Hukam 1/36). Dan menurut mazhab imam Syafi'i membolehkan mengamalkan hadis dhaif dalam hal keutamaan amal, bukan hukum halal dan haram (Al-Majmu 3/248).Â
Sebagai seorang muslim yang mungkin masih awam dalam hal tersebut, sebaiknya kita mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama. Mayoritas ulama sepakat bahwa implementasi hadis Dhaif dalam kehidupan dikatakan boleh dengan catatan bahwa hadis tersebut tidak berkaitan dengan akidah, sifat-sifat Allah, dan hukum Islam (fikih). Selain itu juga, kita tidak perlu memperselisihkan perbedaan pendapat diantara orang yang mengikuti ulama yang tidak memperbolehkan dalam pengamalan hadis Dhaif karena pendapat tersebut juga memiliki dasar yang sama kuat. Kita dapat menentukan pilihan dan meyakini bahwa apa yang kita ikuti tersebut dapat memberikan manfaat dan hal yang baik kepada diri dan lingkungan di sekitar kita. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa hadis-hadis dhaif dapat diamalkan dengan syarat-syarat yaitu :
- Tidak menyangkut hukum halal dan haram.
- Tidak menyangkut akidah dan sifat-sifat Allah SWT.
- Bukan hadis yang sangat lemah (dhaif jiddan).
- Digunakan dalam masalah fadhail amal (keutamaan amal-amal baik) atau mengajarkan adab yang baik.
- Isi dari hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis-hadis hasan ataupun sahih dan juga Al-Qur'an.
- Ketika membawakan ataupun menyampaikan hadis tersebut sebaik mengingatkan bahwa hadis tersebut bersifat lemah sebagai bentuk kehati-hatian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI