Mohon tunggu...
muhammad wafa
muhammad wafa Mohon Tunggu... Universitas Sebelas Maret

Sedang menempuh pendidikan S1 di Universitas Sebelas Maret program studi Peternakan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Nenek Mencuri karena Lapar, Negara Diam karena Malu

23 Mei 2025   01:03 Diperbarui: 23 Mei 2025   01:03 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara ini seolah terus memainkan ulang cerita yang sama dalam drama ketidakadilan. Yakni penindasan terhadap yang lemah dan perlindungan bagi yang berkuasa. Kita kembali diperlihatkan gambar menyayat hati seorang nenek tua yang dipukuli di pasar karena ketahuan telah mencuri beberapa siung bawang putih. Dengan tubuh yang lemah dan tatapan kosong, ia tidak melawan, juga tidak berteriak. Ia hanya terdiam di saat orang memukulinya. Mungkin dia sudah pasrah atau mungkin sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menjelaskan bahwa apa yang diambilnya bukan karena serakah, melainkan karena kebutuhan.

Akan tetapi, masyarakat yang konon katanya semakin beradab malah bertransformasi menjadi hakim yang tanpa ragu menjatuhkan hukuman. Tanpa adanya proses, tanpa rasa empati, nenek itu dianggap sebagai aib, sampah, ataupun penjahat. Padahal, jika kita mau jujur, beliau merupakan gambaran jeritan rakyat kecil yang setiap hari harus memilih antara membeli beras atau membayar hutang listrik. Ia mencuri bawang mungkin karena sudah berminggu-minggu hanya makan nasi dan garam. Namun tak seorang pun disekeliling yang mau mendengarkan dan memberikan perhatian? mereka justru memukul, menghina, dan merekam. Ia dipermalukan dan dijadikan tontonan. Video tersebut malah membuat kita lebih terlihat seperti hewan bukan manusia yang berakal.

Sementara itu, para pencuri besar yang merampok triliunan uang rakyat berjalan santai di atas karpet merah. Mereka tersenyum di acara ulang tahun anak, berlibur ke luar negeri, dan bahkan ketika tertangkap, mereka masih bisa tertawa dan menikmati fasilitas "kelas eksekutif" di penjara. Mereka tidak dipukul, tidak dipermalukan. Sebaliknya, mereka dihormati dengan dalih prestasi masa lalu atau hubungan politik. Inilah paradoks terbesar dari hukum di negara ini. Mereka yang merampas hak hidup jutaan orang dipanggil "Bapak" atau "Ibu", sementara yang mencuri demi bertahan hidup disebut "maling" dan dihajar secara massa.

Yang lebih menyedihkan adalah realitas bahwa rakyat kecil tidak hanya dihukum, tetapi juga dipaksa untuk diam. Mereka dilatih sejak kecil untuk tidak bertanya, tidak bersuara, tidak menuntut keadilan. Mereka diberi label "pengacau" jika melakukan protes, "provokator" jika bersuara. Semua ini dilakukan agar kecurangan para koruptor tetap aman, tetap tersembunyi, dan tetap nyaman dalam pelukan sistem. Mereka membangun tembok tinggi dari kekuasaan dan kekayaan, supaya suara rakyat tidak pernah mencapai telinga mereka.

Bahkan media pun kadang tidak berpihak. Yang diangkat adalah "Aksi Pencurian Bawang" oleh nenek tersebut, bukan kemiskinan yang memaksanya untuk mencuri. Yang dibahas adalah kerugian pedagang, bukan mengapa masih ada orang tua yang harus mencuri untuk bertahan hidup. Sementara ketika kasus korupsi mencuat, berita disampaikan dengan bahasa yang lembut: "penyalahgunaan wewenang", "ketidaksesuaian anggaran", "proyek yang belum selesai". Istilah-istilah ini menutupi kejahatan yang sebenarnya, membuat pencuri miliaran terlihat seperti individu yang hanya melakukan kesalahan pada perhitungan. Apakah kita sudah sedemikian tumpul? Apakah hati nurani kita benar-benar sudah mati? Kita perlu benar-benar bertanya ke diri kita sendiri tentang apa itu kemanusiaan?

Ini bukan sekadar soal hukum, ini soal kemanusiaan. Kita harus mulai mempertanyakan siapa sebenarnya penjahat di negara ini. Apakah nenek renta yang hanya ingin hidup dengan layak? Atau para elite yang setiap harinya merampas masa depan anak-anak bangsa dengan mencuri dana pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial? Kita tak bisa tetap diam. Keheningan kita saat ini memberikan lampu hijau bagi keburukan untuk tetap berkuasa. Ketidakaktifan kita merupakan pengkhianatan kepada mereka yang paling memerlukan. Kita perlu bersuara. Tidak harus dengan berdemo di jalan atau menggunakan megafon. Tetapi melalui tulisan, percakapan, dan pendidikan. Tunjukkan bahwa masih ada orang-orang yang peduli kepada rakyat miskin. Pejabat yang benar akan sangat terbuka dengan opini dan masukan dari rakyat. Karena tugas mereka sebagai wakil rakyat adalah menampung dan mengayomi rakyat.

Katanya kita sudah merdeka? Memang benar kita sudah merdeka melawan penjajah, tetapi belum merdeka melawan bangsa sendiri. Sudah saatnya kita mengubah bangsa dengan menghilangkan orang yang tamak, tidak hanya pejabat tetapi juga orang-orang yang mengambil hak masyarakat. Presiden kita yang belum lama dilantik sudah memberantas puluhan koruptor. Dengan adanya bukti nyata itu maka mari kita sebagai anak muda membantu menyuarakan isi hati rakyat kecil/ masyarakat agar gaungnya terdengar hingga ke telinga pemerintah. rapatkan barisan, kita kawal keadilan agar terus tegak berdiri di negeri ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun